Desa Kilise | Papua di benak saya adalah, Timur, Hitam, Kriting, Koteka dan Indah. Sejak di bangku sekolah, Papua menjadi sangat asing bagi saya yang tinggal di ujung pulau Sumatera, tak terpikir pagi ini kaki saya sudah berada di Wamena setelah menempuh 1 jam penerbangan dari Jayapura.
Rasa penat dan kantuk tak dirasa lagi, karena penerbangan dari Jakarta sejak tengah malam tadi hingga tiba di wamena ini memakan waktu 8 jam, nyaris waktu tidur sangat kurang, tapi semangat membara ingin menyaksikan kehidupan alami masyarakat Papua lebih kuat daripada pasrah pada penat. Perjalanan dilanjutkan menuju Desa Kilise pukul 10.30 pagi dipandu Bapak Edison dan beberapa kerabat Papua sebagai porter.
Dari kota wamena melewati Kampung Megapura, Hepuba dan akhirnya berhenti di desa Hepuba karena longsor, hingga kami harus menyeberangi sungai Yetni menuju desa Kurima. Arus deras telah menghancurkan jembatan penyeberangan menuju desa Kurima.
Satu-satunya jalan adalah menyeberangi arus sungai yang deras, syukurnya air tidak begitu dalam, hanya sebatas dengkul, sambil saling berpegangan tangan satu persatu berhasil menyeberang.
Tak ada sedikitpun rasa keluh kesah, karena perjalanan ini adalah perjalanan alam, lupakan segala fasilitas modern itu, bisa naik mobil dari Wamena hingga Sogokmo desa Kurima ini saja sudah sangat membantu. Kaki mulai terasa bergetar, saya pandangi sepatu dan celana trekking yang basah, angin lembah baliem menghembus semakin membuat kaki terasa dingin.
Kita harus berjalan tiga jam lagi hingga bisa tiba di desa kilise. Pemandangan indah sungai Kurima nan berkelok, dipagari angkuh oleh tinggi rendahnya bukit di kanan kirinya. Perpaduan alam yang luar biasa. Kembali tersadar iya ini lembah baliem.
Segala mimpi saya terhadap Papua. Jalan setapak, mendaki bukit, semua begitu saya nikmati, nafas tersengal, istirahat sejenak, hirup sebanyak banyaknya udara segar bersihkan darah saya yang kerap menghirup polusi ibukota. Memompa kembali semangat, lega ketika mendapat bonus jalan menurun.
Kerap pula saya bertemu dengan bapa-bapa dan mama-mama dengan Noken (tas bagi perempuan) di kepalanya, membawa hipere (ubi) serta sayuran. Sapaan yang seketika membuat kami menjadi akrab adalah “selamat pagi mama, selamat siang bapa”, merekapun dengan senyum ramah kembali membalas dan tak jarang berjabat tangan erat, begitu terjalin rasanya keakraban.
Melirik ke jam tangan, kami sudah berjalan dua jam, berarti satu jam lagi tiba, semangat kembali berkobar, Honai (rumah penduduk di lembah baliem) berbentuk bulat beratap alang-alang mulai terlihat, diujung sana tampak seorang mama yang duduk sambil menganyam noken, anak-anak berkejaran dengan ban bekas di tangan, inilah permainan sederhana bagi mereka, berlari dari atas bukit sambil memacu ban dengan kayu, semua tampak riang.
Segenggam permen yang saya bawa dari Jakarta, saya bagikan pada mereka, “kesini adek, siapa namamu? Joshua, dan kamu siapa? Manuel, dengan tawa malu, setelah cukup berbincang sejenak saya memotret mereka sambil bermain.
Berpapasan juga dengan seorang lelaki muda, di pundaknya tergendong manja seekor babi kecil umur 4 bulan, “berapa kau beli babi mu? “ pak Edison menyapa pemuda itu, ..”1 juta bapa” mau dijual apa dipelihara ?, “saya mau pelihara .. “ jawab pemuda itu lagi.
Babi menjadi mas kawin untuk meminang seorang wanita menjadi istrinya, setidaknya lima babi harus dipersembahkan bagi wanita apabila ingin memperistrinya, sehingga menjadi sebuah kewajiban bagi kaum pemuda untuk memelihara dan memiliki babi. Kalau di pasar Wamena harga babi dewasa berkisar 10-20 juta per ekor.
Perjalanan pun dilanjutkan, kebun kol tampak subur di ketinggian 1800an mdp lembah baliem, dingin kembali merasuk dan hari mulai sore, satu jam perjalanan tak dirasa, kita sudah tiba di desa Kilise.
Lima Honai berjajar rapi, menghadap ke Timur dengan pemandangan bukit dan lembah baliem, yang di bawahnya mengalir sungai baliem. Ini adalah hotel alam termegah. Anak- anak ramai berdatangan, menyalami dengan ramah, menonton kami yang baru hadir, entah siapa menonton siapa, karena kamipun juga menatap takjub pada mereka, ada yang riuh tertawa, menangis dan sesekali terdengar batuk rejan. Rasa ini bercampur aduk. Mengapa??
Nancy, Yosephin sedikit anak yang mungkin sempat saya hafal namanya, membuat saya terhenyak dan duduk sejenak memandang mereka satu persatu sambil berisitirahat, dari arah belakang saya tertarik dengan model anyaman rambutnya, rapi unik dan teratur, menurut saya ini adalah seni tingkat tinggi.
namun ketika saya bertatapan, teriris hati saya melihat ingus kering masih melekat di hidung mereka, kemanakah ibu-ibu mereka, kemanakah paman, bibi mereka, apakah tidak ada yang membersihkan??, mungkin ini adalah pertanyaan konyol, karena di desa ini, fenomena ingus kering adalah hal lumrah, bukan hanya satu, dua atau lima anak yang berhias ingus kering di atas bibirnya, namun 90 persen anak-anak desa menghias dirinya dengan ingus kering. Ini adalah pemandangan biasa ujar pak Edison sebagai pemandu
Ingin menjerit rasanya, ya Tuhan, anak-anak ini mengapa seperti ini? kembali lagi seperti pertanyaan konyol yang tak berjawab
Apakah mereka mandi? Atau tak bisakah menyeka ingusnya barang sejenak?, bukan lagi bocah kecil yang tergolong Balita, namun sudah masuk kategori SD, mereka masih belum bisa menyeka ingus? entah kenapa saya merasa bersalah, walaupun apa sebenarnya andil saya dalam kesalahan ini? Otak saya beradu argument sendiri.
Saya bukanlah petugas kesehatan, bukan pula pejabat daerah, namun saya memiliki kesempatan mencari ilmu, berbekal pengetahuan walau tidak banyak. Saat itu saya merasa berkewajiban untuk menyampaikan, mengarahkan tentang hidup sehat.
Pola hidup sehat tidak memandang RAS, tidak memandang status dan daerah. Hidup sehat harus dicanangkan dimana dan kapan saja. Rasanya ingin sekali mengambil handuk panjang, dan membariskan anak-anak desa ini satu persatu, melap ingus kering mereka, mengajak pola hidup sehat dan bersih, setidaknya dari hal terkecil mandi dan mencuci tangan.
Alam memang punya kuasa atas perlindungan bagi anak-anak, namun suara batuk rejan yang meringkih setiap saat dari beberapa anak, semakin mengiris hati saya. Baju hangat dan selimut tebal ingin rasanya saya sumbangkan bagi mereka, agar tak ada lagi suara batuk meringkih saat angin dingin menghampiri kulit tipis mereka.
Memang tidak mudah merubah sesuatu yang sudah turun menurun menjadi kebiasaan baru, tapi saya yakin penyuluhan dan pemantauan kesehatan dengan program hidup bersih dan sehat harus terus digiatkan. Hidup sehat akan mencerdaskan mereka, memajukan Papua, memajukan Indonesia pastinya.
…“Ayooo kita beryanyi”… teriakan seorang teman membuyarkan polemic fikiran saya, ada sekitar 20 bocah berkumpul, serta merta kamipun mengajak mereka bernyanyi , … “ayo kita menyanyikan lagu apa adek?” … mereka tak menjawab hanya tertawa dan senyum-senyum, bahasa Indonesia masih di fahami mereka walau mungkin tidak terlalu fasih, karena ada satu buah sekolah dasar di desa ini. “ “Lagu Indonesia Raya, bisakah? “…
Dengan sedikit logat Papua saya ajak mereka menyanyi, dan semua terdiam, ada rasa sedih karena lagu itupun mereka tidak hafal. …“Baiklah, lagu apa yang bisa adek nyanyikan?” .. mereka menyebut sebuah nama lagu Rohani di Gereja, ….“ ok, kita menyanyi bersama-sama, tepuk tangan dan senyum ya, tidak boleh ada yang menangis dan bersedih”…, bak guru TK saya pun bertepuk tangan sambil bergoyang menggerakkan kaki yang diikuti oleh anak-anak.
Tawa canda mereka, sungguh menghibur. Coklat dan permen kami bagikan. Dan keriuhan sore itu harus diakhiri dengan rintik hujan yang mulai turun. “Kita bermain lagi besok yaa”, teriak saya, dan merekapun berhamburan kembali ke rumahnya.
Mencari tempat berteduh, diujung honai ada batu besar dan pohon rindang, sesaat ubi goreng tersaji di depan mata, ada semburat ungu di bentuknya, …“ini bukan ubi tapi talas Baliem” … kata Pak Edison, tak banyak bicara, sayapun, langsung menyambar talas loreng ungu itu, talas hangat ini bagai “marmer cake”, lezat sekali, apalagi ditemani dengan secangkir kopi panas, semakin menghangatkan suasana yang semakin dingin. Obrolan ringan mengalir bersama habisnya talas di piring ceper
Bermalam di Honai
Suasana gelap gulita tanpa penerangan lampu, honai menjadi hangat karena tak ada jendela, hanya pintu kecil di satu sisi selebar badan itu juga harus menunduk, bentuknya atap kerucut disangga kayu memanjang mirip seperti jari jemari payung dan dikaitkan dengan lilitan rotan, tanpa paku. Jajaran kayu rapat membentuk dinding membulat, jerami dan alang-alang menjadi penutup atapnya. Begitu pula lantainya, hanya beralas alang-alang
Ada sebutan berbeda untuk Honai, karena Honai dihuni berdasar jenis kelamin, Pilamo untuk kaum laki-laki dan Ewe Uma untuk kaum perempuan, di tengah-tengah Honai biasanya ada perapian untuk memasak, sekaligus sebagai penghangat ruangan. Usai makan malam, kantuk mulai menyerang, dan mencoba berbaring di dalam Honai, dingin mengigit membuat saya sulit memecamkan mata. Namun alunan suara nyanyian itu mengusik telinga saya.
Eoo, aaamaroo ro ro eeooo… dan semakin memburu, diselingi suara tepukan tangan mengikuti alunan suara, suara nyanyian yang tidak saya fahami artinya terus mengalir. …. “Akhh biarkan saja paling sebentar lagi juga berhenti”…, fikir saya, dan mata saya pejamkan lagi, tapi otak saya terus liar berputar, rasa penasaran terus menguncang-guncang fikiran dan hati saya.
Udara di luar yang menusuk tulang sungguh membuat enggan beranjak dari Honai yang mulai hangat ini. …“Tapi kapan lagi saya melihat mereka bersenandung? Besok, lusa atau tahun depan belum tentu, hati saya terus berperang melawan kemalasan saya. Hoopssss, malas ini harus dilawan, saya bergegas keluar menuju sumber suara, mencari sepatu dalam gelap, semua dalam rabaan, dengan bermodal head lamp saya menemukan sepatu di sudut pintu Honai.
Suara sepertinya dari Honai terujung, Honai Pilamo, perlahan saya buka pintu, sekitar 15 orang lelaki berkumpul dalam Honai, perapian dengan panci berpantat hitam legam mengepul berisi air panas, sekaligus penghangat ruangan Honai.
Lagu-lagu suka cita terus menggema dalam Pilamo, entahlah apa yang mereka katakan, namun aura senang dan semangat itu saya rasakan. Lagu-lagu itu tanpa makna namun biasanya didendangkan bercerita tentang kemenangan perang, bertani dan berpesta adat dan tentang kehidupan mereka sehari-hari. Saya hafalkan sedikit iramanya dan sesaat sudah bisa saya ikuti dalam teriakan nyanyian mereka.
Malam semakin larut, harus kembali ke Honai karena esok pagi akan menyaksikan tarian perang dan bakar batu. Tak sabar menanti pagi. Kali ini tidur tak penasaran lagi, namun semakin berwarna dengan senandung dari desa Kilise. Oeeaa eee
Tarian Perang dan Bakar Batu
Kabut tebal menyeruak dari balik bukit, selamat pagi baliem, segarnya udara, indahnya sungai baliem di depan mata, kehidupan kontras dari hiruk pikuk Jakarta, tanpa bising kendaraan, dering telpon genggam, udara berdebu. Terisolasi dalam kenyamanan. Sarapan sup hangat terenak yang dirasa di sudut Timur Indonesia, mengawali pagi.
Satu persatu bapa menyapa, selamat pagi dengan senyum ramah, sang bapa sudah lengkap dengan pakaian koteka dan tombak, bulu-bulu ayam yang dibentuk seperti topi menempel di kepala. Takjub sejenak menyaksikannya, sesaat saya meminjam tombak dan mencoba menirukan gerakan yang diajarkan bapa.
Sebentar lagi kita akan menari perang, semua mace (sebutan bagi kaum perempuan) berkumpul di lapangan, berhias sali (anyaman akar pohon yang dibentuk seperti rok) di kepala sudah menempel noken, noken bukan saja berfungsi sebagai tas namun sudah menjadi bagian dari kostum adat bagi mereka.
Tertegun melihat hiasan kuning dan putih di bawah mata, dan tanpa pikir panjang saya meminta mace membuatkanya untuk saya, dahulu kala hiasan ini dibuat dari tanah lempung, dioleskan di bawah mata, namun sekarang sudah banyak menggunakan pasta gigi yang berwarna putih, dan apabila ingin menjadi warna kuning mereka mencampurnya dengan kunyit.
Kedekatan semakin terjalin, saat mace mengoleskannya di bawah mata saya. Saya kini sudah menjadi Papua, topi berbulu dipinjamkan mace pada saya. Membuncah rasanya, saya bagian dari mereka. Pace juga berhias diri, taring babi dipasangkan di hidung, dan menghadap ke atas, dari posisi taring babi ini bisa melihat “mood”, apabila taring ke bawah itu tandanya sedang murka dan kalau taring menghadap ke atas itu pertanda sedang bahagia.
Topi bulu ayam melekat di kepala, roncean kerang terkalung bak dasi bertengger di dada, koteka menggantung di pinggang. …”ayoo kita siap berperang”…
Sambil memompa langkah dan semangat kami semua berkumpul di lapangan, berhias panggung alam panorama bukit dan lembah baliem, sungai mengalir diantaranya, sekumpulan pace berteriak menyerukan perang akan dimulai. Drama perangpun disajikan, tak ingin melewatkan sedikitpun adegan demi adegan. Kamera saya terus memburu setiap gerakan tari perang ini.
Alkisah seorang gadis diculik dari desa sebelah, proses merebut kembali sang gadis diselesaikan dengan cara perang, taring babi diturunkan ke bawah, panah dan tombak diayun-ayunkan dan siap dihunuskan ke pihak lawan, teriak-teriakan semangat terus bergemuruh, dengan kata-kata tanpa makna, tapi jiwa ksatria begitu tergambar.
Dan akhirnya perang usai dan kemenangan berhasil di raih, tari-tarian dan nyanyian senandung kembali keluar dari pace dan mace. Dan kamipun turut serta tenggelam dalam tarian perang ini, bergoyang suka-suka dan berteriak suka suka. Karena semua itu menggambarkan kebahagiaan.
Tak lengkap tarian perang tanpa suguhan bakar batu, karena upacara bakar batu ini sebagai bentuk rasa syukur, penghormatan pada tamu dan bentuk rasa kebahagiaan dan kebersamaan.
Berjalan dengan riang kembali ke kawasan Honai, kaum wanita pergi ke kebun memanen ubi (hipere), memetik daunnya dan menebas rumput-rumputan, sedangkan kaum lelaki mempersiapkan batu, menyusun kayu di atas sebuah lubang tanah berukuran 2 meter. Batu ditumpuk setinggi hampir setengah meter.
Pak Albert selaku kepala suku mengambil sebuluh kayu, di tangan kanannya seutas tali rotan, …“ini untuk membuat api” …kata pak Albert. Kayu di letakkan di tanah, tali digesekkan berulang, semakin kencang dan asap mulai muncul dari celah kayu, jerami kering di genggaman pak Albert di dekatkan pada asap, dan menyambarlah api.
Walau zaman sudah berteknologi tinggi, pemantik api tersedia, namun di desa ini adat dan tradisi tetap dipegang, hingga mulai dari memantik apipun masih dilakukan secara tradisional. Rasa Bangga menyeruak melihat kekayaan budaya ini. Semoga tradisi tetap utuh terjaga dan tak musnah di telan kemajuan teknologi.
Nafas mengenduss dan ngiik ..uuuh …ngiik, babi di panggul di bahu kiri, dan dengan sigap kepala suku mengambil panah berukuran lebih dari 1 meter, ujung anak panah runcing dari bilah bambu, dua pace berdiri memegangi keempat kaki babi, si babi malang meronta sesaat dan pasrah, dan … wuzz… anak panah melesat ke jantung babi, namun belum juga malaikat penyabut nyawa berkenan mengambil nyawanya, dan babi putih bersemu merah itu diangkat kembali serta untuk kedua kali menghadap pada gerbang kematian, dan …woozz … kali ini panah tepat mengenai jantungnya. Selamat jalan babi, semoga perngorbananmu berkah bagi kami semua di sini.
Api kini sudah berkobar, kayu-kayu kering menjilat liar di setiap celah batu, batu kali yang terlihat pucat kini legam oleh bara api. Di tanah berlubang sisi lainnya para mace hilir mudik menumpuk hasil panen ubi mereka, daun ubi, alang-alang dan aneka rerumputan beraroma khas sebagai bumbu, tanpa garam, tanpa bumbu penyedap, ini adalah makanan organik sesungguhnya. Mengandung protein dari babi, karbohidrat dari ubi dan vitamin dari sayuran.
Lapisan demi lapisan di tata rapi, lapisan bawah ilalang sebagai alas, diikuti rumput-rumputan beraroma pedas, kemudian masuklah batu membara yang ditata rapi, dengan bergotong royong mace dan pace menyumpit batu dengan sumpit bambu, memindahkan satu demi satu. Lapisan berikutnya ubi, di tata di atas bara, ditutup lagi dengan rerumputan.
Pak Albert mengangkat babi yang sudah di bakar kulitnya dan membelah bagian perut menjadi dua. Darah segar masih mengalir diantara tubuh babi tanpa nyawa. Dan ..huppss … babi persembahan sudah tertidur nyaman di atas peraduannya yang hangat, dan beramai-ramai mace menutupnya kembali dengan rerumputan dan sayuran. Lapisan terakhir kembali batu panas dan ditutup sayuran dan rumput kembali. Uhmmm aroma masakan mulai tercium, asap mengepul dari sela sela tumpukan rumput.
Tali dari akar pohon dililitkan pada “tungku persembahan”. Mungkin kata itu tepat untuk acara bakar batu ini, agar panas membara di dalam tidak cepat keluar dan berbagi panas untuk ubi, sayur dan si babi, seorang mace menyipratkan air ke atas tumpukan daun, agar uap semakin banyak dan proses bakar batu ini semakin sempurna.
Udara semakin dingin, sambil menunggu santapan lezat selesai, anak-anak sibuk bermain, para mace berbincang ringan dan masuk ke honai menghangatkan tubuh, perapian dengan panci berpantat legam teronggok di tengahnya, ya udara semakin dingin dan mereka hanya mengenakan sali dan koteka saja.
….”mari sini masuk” .. ujar mace, ketika saya melongokkan kepala ke dalam honai. Entah apa kalimat yang akan saya keluarkan saat itu, mulut saya terasa tercekad, pikiran saya berkecamuk, saat itu saya begitu menyukuri segala nikmat hidup yang saya terima, saudara saudaraku ini, hidup dengan kesederhanaan bersahaja, namun tetap ramah, tersenyum, kenikmatan apalagi yang aku tuntut dari Tuhan?
Namun tiba-tiba mata saya tertuju pada tangan seorang mace, salah satu ruas jarinya tidak ada. “mengapa jarinya tidak ada mace? …. “Iya ini dipotong”,rasa terkejut mendengar jawaban spontan itu. …Iya sejak dulu kalau ada musibah meninggal orang orang yang dicintai, bentuk rasa berduka adalah dengan memotong jari, adapula yang memotong telinga. Tapi saat ini sudah jarang terjadi karena sudah dilarang oleh pemerintah dan pemuka agama.
Ahh syukurlah, dan mata saya pun mulai nanar memperhatikan ruas jari para mace dan pace. Ada empat sampai lima yang ruas jarinya hilang. Terbayang perih dan sakitnya apabila prosesi itu terus berlangsung hingga kini
….“Ayo buka.. buka” … pak kepala suku memerintahkan para pace membuka sajian bakar batu, “sudah lama, ini sudah matang”, ujarnya, uap panas mengepul, dan semakin tebal saat lapisan rumputan pertama dibuka, sayuran daun ubi tampak sudah menguning, babi sudah tampak putih, dan barisan paling bawah ubi (hipere) berbongkah bongkah di bongkar satu persatu, bak mencari harta karun.
Dan saat itu juga mereka menyantapnya dengan lahap, tanpa memperdulikan panas yang masih mengepul. Semua mendapat bagian, pace, mace anak-anak berbagi makanan, dalam suasana akrab dan hangat, tawa canda dan antusias melahap hipere tertangkap kamera saya. …“ini coba, enak sekali” … mace menyodorkan ubi pada saya, ubi masih mengepul panas, mace membelahnya menjadi dua, kuning segar dan memancarkan aroma harum manis, rasa penasaran ini begitu besar, sehingga saya mengambil sedikit bagian dalam hipere ini, dan sungguh manis.
Santapan matang dari Bakar batu…” hmmm enak sekali mace”… ucap saya dengan mata berbinar, ..“ayoo ini ambil… ambil yang banyak”. Rasa sentimentil mulai muncul, kerinduan akan sosok ibu yang telah tiada tiba-tiba merasuk, saya sudah seperti anak mereka, ingin rasanya memeluk mereka satu persatu.
Ya Tuhan, Terimakasih atas kesempatan yang kauberi, atas apa yang dirasa dan dilihat, turut merasakan keminiman gaya hidup, kesederhanaan bersahaja, mereka yang tak banyak menuntut apa-apa selain perut kenyang untuk menyambung hidup. Rasa haru menyaksikan saudara-saudaraku memakan hasil racikan makan siang mereka, seekor babi yang kami persembahkan, di sambut hangat dengan acara bakar batu
Pergi dan Ingin Kembali
…“Saya tidak pulang, saya hanya pergi sesaat, suatu hari saya akan kembali” … memeluk erat ibu yang pagi tadi menghias bawah mata saya dengan odol, “jangan dihapus ya”, iya … jawab saya, hingga tiba di wamena saya akan terus memakainya. Kalimat ini saya ucapkan, sangat berat hati mace harus meninggalkan desa Kilise.
Tak cukup hanya 2 hari berada di sini, kami belum menjelajahi seluruh desa disini, belum sempat berbagi kesempatan pada saudara-saudaraku disini. Tapi pelajaran kehidupan sudah saya dapatkan, dari sebuah kesederhanaan hidup dengan bakar batu, kebersamaan dalam nyanyian dan tari perang, serta mutilasi sebagai bentuk kecintaan. Semoga Tuhan selalu melindungi saudara-saudaraku di sana.