Sarapan yuk di Pasar Terapung Lok Baintan
Usai menyaksikan Festival Isen Mulang di kota Palangkaraya Kalimantan Tengah saya seketika ingin melanjutkan perjalanan ke Banjarmasin. Toh kota Banjarmasin tidak jauh dari kota Palangkaraya, bisa di tempuh melalui jalan darat selama kurang lebih 6 jam perjalanan dengan menggunakan bis ataupun travel. Hanya dengan membayar Rp 100.000 saya sudah tiba di kota Banjarmasin.
Usai check in di hotel sederhana saya beristirahat sejenak sembari mencari makan siang dan melihat-lihat sekitar kota. Menjelang malam saya lanjutkan mencari kuliner di area Taman Siring. Karena Taman Siring ini apabila malam hari ramai jajanan dan warna-warni lampu dari menara pandang serta jembatan Merdeka yang yang melintang membelah sungai Martapura hingga menambah indah suasana. Nah belum afdol rasanya kalau ke Banjarmasin tidak makan lontong Harua, karena sajian ikan gabus nya dengan bumbu khas Banjar membuat perut kosong kamu semakin menjerit.

Tepat pukul 05.00 saya bergegas menuju tepian sungai Martapura. Kembali lagi ke area Taman Siring, karena disini banyak kelotok (perahu kayu bermotor) yang bersandar siap mengantar para tamu yang ingin menyaksikan aktivitas berjualan dan berbelanja di atas perahu di Lokbaintan. Sebuah fenomena tradisi turun temurun yang unik dan patut terus dilestarikan. Aktivitas ini biasa berlangsung hanya sesaat, antara jam 06.00 hingga pukul 09.00 di sungai Martapura tepatnya desa sungai Tandipah, kecamatan Sungai Tabuk, Banjarmasin Kalimantan Selatan.
Oleh karena itu semakin pagi kita tiba di lokasi akan lebih baik. Dengan naik perahu kayu atau biasa disebut kelotok perjalanan ditempuh dalam waktu 30-45 menit tergantung situasi cuaca dan arus sungai. Sebaiknya bawa jaket juga karena angin pagi hari cukup dingin menerpa tubuh di pagi hari. Apabila tidak ingin menunggu lama, kita bisa sewa langsung satu perahu, silakan negosiasi saja untuk perahu kapasitas 10-15 orang berkisar Rp 350.000 hingga Rp 400.000.
Namun ada pula yang reguler hanya Rp 50.000 per orang, namun harus sabar menunggu penumpang hingga penuh ya. Perahu-perahu yang dikayuh para ibu-ibu satu persatu mulai muncul dari balik deretan rumah-rumah kayu di tepi sungai. Matahari belum lagi terbit, namun kecipak air dari kayuh kayu sudah kerap terdengar. Mulai berderet perahu berjalan pelan yang tampak berisi muatan. Masih samar-samar apa isi perahu yang sebagian ada yang tertutup kain.
Kelotok yang saya sewa dari dermaga Siring mendahului perahu-perahu kayu para ibu, gelombang air tampak sedikit menghempas perahu kecil di sisi kelotok, namun kemampuan kendali ibu-ibu di Lok Baintan sudah mumpuni karena sejak kecil mereka tumbuh dan besar di perkampungan nelayan tepi sungai yang sehari-hari menggunakan perahu sebagai moda transportasi sungai.

Matahari mulai menampakkan sinarnya. Perahu kayu ramai berkumpul, pembeli dan penjual saling merapatkan perahu, transaksi mulai berjalan. Aneka buah-buahan tertata di atas perahu, pisang, jeruk, kelapa, rambutan, singkong, aneka sayuran. Tak hanya komoditas perkebunan namun juga berbagai sandang dan pangan. Seorang ibu setengah baya bertubuh sedikit bongsor, kain di kepala dan wajah menggunakan bedak dingin, yang biasanya berbahan tepung beras tampak menghampiri saya menjajakan aneka sarapan pagi tradisional.
Saya pun membeli cenil yaitu panganan ringan dari bahan tepung beras dan tepung tapioka yang terasa kenyal di mulut, bertabur kelapa parut dan gula merah. Kue lepat berbahan singkong yang manis menjadi teman sarapan. Cangkir berisi teh hangatpun menemani saya pagi ini di Lokbaintan. Dari atas atap kelotok yang saya sewa saya saksikan aktivitas ibu-ibu di Lokbaintan, sebuah fenomena unik yang sangat memanjakan para tamu yang jarang ditemukan di daerah-daerah lain di Indonesia.
Berlangsung tak lama karena ketika matahari mulai beranjak naik satu persatu para ibu di Lokbaintan kembali ke rumah, dan pusat pasar yang tadinya riuh ramai berdagang mulai sepi. Akhirnya saya memutuskan untuk mengakhiri kunjungan di Lokbaintan, sembari menikmati pemandangan aktivitas rumah-rumah panggung di tepi sungai Martapura.