Berkunjung ke Rumah Betang Sungai Uluk Palin, yaitu rumah Betang Terpanjang di Kalimantan Barat menjadi tujuan kami selanjutnya setelah usai menikmati rangkaian ratusan tatung Cap Go Meh di Singkawang. Saya dan dua orang teman melanjutkan perjalanan menuju Putussibau. Tepat pukul 13.00 bis tanpa ac melaju pelan dari Singkawang menuju Sintang dengan harga tiket 90.000.
Teriakkan kondektur memecah tidur pulas Kami. Sintang … Sintang … Sintang …. Hari terlihat masih gelap, ternyata kami sudah tiba di Sintang pukul 05.00 pagi, satu jam kemudian dilanjutkan lagi dengan bis yang lain menuju Putussibau.
Bis kecil dan tanpa berpendingin udara kembali harus kami tumpangi, Uhmm kali ini bis menuju Putussibau penuh dengan bawang, kol dan setumpuk kaleng cat. Tak apalah semua ini kami nikmati untuk sebuah perjalanan menjelajah Borneo. Memecah suasana pagi menuju siang nan terik empat jam kedepan.
Setelah meletakkan barang di penginapan sederhana, kami tak sabar untuk segera menuju Rumah Betang, karena Kalimantan selalu identik dengan Rumah betang (Rumah Panjang). Apalagi zaman sekarang sudah sulit menemukan rumah betang sebagai tempat tinggal, lebih banyak hanya sebagai tempat musyawarah atau sebagai tempat acara adat saja, mereka sekarang lebih banyak memilih tempat tinggal sendiri yang lebih privacy. Di antara puluhan Rumah betang, hanya belasan yang masih dihuni.
Hal unik yang membuat kami ingin berkunjung ke sini adalah karena Rumah betang Sungai Uluk Palin yang berada di dusun Sungulo, desa Nanga Nyabau, kecamatan Putussibau Utara, kabupaten Kapuas Hulu ini menjadi rumah betang tertinggi di Kalimantan barat karena kayu penyangganya mencapai 8-10 meter dan juga rumah betang terpanjang karena memiliki panjang mencapai 204m, dan ada 53 bilik yang dihuni oleh ratusan warga. Berdasarkan SK Bupati No.47 Tahun 2006 Rumah Betang ini sudah ditetapkan sebagai salah satu cagar budaya.
Tidak ada transportasi umum ke tempat ini, sehingga kami memutuskan menyewa ojek, satu ojek dikenakan biaya 150.000 rupiah untuk pergi dan kembali, dengan jalanan aspal yang lumayan mulus, kami melaju membelah hutan selama hampir 30 menit.
Rumah betang mulai terlihat samar samar dari balik pohon, tampak tua dan gelap. Kami berputar mencari jalan masuk depan rumah.
Tepat di depan Rumah betang mengalir sungai Uluk Palin. Beberapa ibu membawa ember dan akan mencuci di sungai, adapula anak-anak bermain. Saat berpapasan dengan seorang ibu, saya menyapa dengan ucapan, “selamat siang ibu, permisi.. kami ingin melihat rumah Betang, dengan siapa saya bisa bertemu?? .. Si Ibu mempersilakan masuk ke rumah betang dan mencari pak RT, sambil melintasi jembatan kayu menuju rumah, dikanan kiripagar jembatan kayu penuh dengan jemuran.
Tampak dari jauh sekelompok ibu, anak dan laki-laki saling mengintip dari balik kayu, kemudian bertemu dengan anak tangga yang cukup tinggi, dengan mudahnya anak balita ini menaiki tangga, tapi yang belum terbiasa berhati -hatilah untuk menapakinya, karena hanya ujung kaki saja yang masuk dalam cerukan anak tangga.
Tangga ini dibuat dari sebilah kayu dan dipahat segitiga membentuk pijakan kaki. Dengan sedikit gamang, saya menaiki anak tangga demi anak tangga, dan upss sedikit meloncat di anak tangga terakhir. Bentuk teras memanjang, banyak tiang dan banyak pintu.
Lantai juga dari kayu dan apabila kita berjalan berbunyi decit beradunya kayu dan kayu, jangan kuatir rumah betang ini cukup kokoh karena terbuat dari kayu Ulin atau kayu besi yang terkenal dengan kekuatannya, walau sudah dibangun sejak tahun 1941 tetap bertahan tanpa di makan rayap.
Kami dipersilakan duduk sambil menunggu pak RT, ada ibu-ibu sedang menganyam tikar, menggendong anak, membersihkan bilik, aneka kegiatan tergambar dalam satu atap. Akhirnya pak RT yang dinanti dari tadi keluar dari salah satu bilik. Sambil memperkenalkan diri kami berbincang sejenak, memperkenalkan nama, tempat tinggal dan tujuan kami datang ke rumah betang.
Sambutan ramah dari pak RT dan juga beberapa warga yang ada di teras bilik. Rumah Betang dengan struktur tinggi seperti ini dibangun untuk menghindar dari banjir, serangan binatang buas, dan serangan suku-suku lain saat berperang. Biasanya berdekatan dengan sungai agar lebih mudah melakukan kegiatan sehari-hari.
“Terimakasih atas kunjungannya “ sambutan pak RT, namun berhubung lagi masa berkabung karena ada salah satu warga yang meninggal dunia, maka kami diperingatkan untuk tidak mengambil gambar hingga ke bilik ujung, namun hanya bisa di depan bilik pak RT saja.
Pak RT yang bernama Pak Jantan akhirnya mengantar kami ke Rumah orang tuanya, melewati hampir 10 pintu, kami tiba di rumah Pak Molin. Pak Molin adalah orang tertua di rumah betang ini, kini sudah mencapai usia 100 tahun.
Walau dengan bahasa yang terbatas, pak Molin didampingi sang istri menerima kami dengan senang hati. Di dalam biliknya kami bisa melihat aneka ukiran dan benda-benda memasak, topi untuk berladang dengan ukiran dan hiasan khas suku dayak Tamambaloh, bahkan tubuh Pak Molinpun lengkap dengan tattoo.
Sambil menunjukkan salah satu tattoo di tubuhnya yang berbentuk bunga,… “ini tattoo bunga sakura, menandakan tattoo ini dibuat pada saat zaman penjajahan Jepang” dan tattoo berbentuk garis-garis dan titik adalah tattoo asli suku dayak” wah penjelasan pak Molin sungguh berarti buat kami. Pengetahuan ini dulu tak kami dapat di bangku sekolah.
Hari mulai petang, dengan berat hati kami harus mengakhiri perbincangan dan kunjungan ini. Sembari berfoto sejenak berpamitan pulang dan meminta izin melihat-lihat sekeliling rumah, dari teras bilik tampak para ibu sedang membuat souvenir anyaman manik-manik sebagai tambahan pendapatan.
Aneka kalung, gelang dan tas mereka perjual belikan, sayapun membeli beberapa buah gelang sebagai oleh-oleh dari rumah betang.
Dari kunjungan ini Kami memahami sejenak kehidupan dan perjuangan hidup saudara kita di belahan pulau lain. Bahwa Rumah Betang kini bukan saja menjadi sekedar tempat tinggal, namun bukti sejarah dan kebudayaan manusia.