Raja Ampat “For a truly nature experience” datanglah ke Raja Ampat kapanpun ingin, karena hampir sepanjang tahun kepulauan yang menjadi primadona wisata bahari ini selalu tampak cantik dan memukau. Namun menjadi pilihan tepat pula bila berkunjung di akhir tahun, biasanya menjelang 3 bulan terakhir di penghujung tahun secara rutin diadakan festival Raja Ampat.
Diusung sebagai tema Festival Raja Ampat tahun 2012 yang diselenggarakan pada tanggal 18-21 Oktober lalu, Raja Ampat selain sebagai kawasan Taman Nasional laut terbesar di Indonesia, juga menjadi salah satu “Marine tourism” favorit dunia.
Sejak tahun 2009 rutin festival ini diadakan sebagai bentuk kegiatan untuk meningkatkan kunjungan wisatawan dari tahun ke tahun. Kepulauan ini memiliki lebih dari 1.000 pulau kecil serta empat pulau utamanya yaitu Misool, Salawati, Batanta, dan Waigeo, dan kota Waisai sebagai pusat pemerintahan ada di pulau Waigeo dari seluruh pulau hanya 35 pulau yang berpenghuni sedangkan pulau lainnya tidak berpenghuni dan sebagian besar belum memiliki nama.
Mulai dari wilayah teluk Cendrawasih hingga seluruh wilayah perairan dan darat Raja Ampat mencapai luas total 40.000 km2, dan setiap wilayah kepulauannya menjanjikan keindahan yang luar biasa bagi wisatawan. Predikat Raja Ampat sebagai “Marine Tourism” sangat menjanjikan, karena 70% kekayaan biota laut di dunia bisa kita temukan di Raja Ampat
Selamat datang di Raja Ampat Setelah menempuh 7 jam perjalanan dari Jakarta dan transit 1 jam di Bandara Hassanudin Makassar, pesawat landing di Kota Sorong pagi hari waktu setempat perbedaan waktu 2 jam dari Jakarta seolah membuat waktu begitu cepat berjalan.
Tujuan berikutnya adalah menuju Waisai, dan hanya bisa ditempuh dengan perjalanan laut, namun karena Jadual Ferry penyeberangan menuju Waisai baru berangkat pukul 14.00 WIT, maka kami memutuskan untuk menuju tembok berlin,”Tembok Berlin ???” hmm mirip dengan nama tembok di negara Jerman sana, dengan rasa penasaran saya simpan saja pertanyaan besar di benak saya ini, karena kamipun segera meluncur dari Bandara Domine Eduard Osok di Sorong menuju tembok berlin, tidak begitu jauh ke tembok berlin ini hanya memakan waktu 25 menit, mana temboknya??, ya inilah temboknya, tembok dengan tinggi kurang dari 1 m ini membatasi bibir pantai dan jalan raya di kota Sorong. Pantai Lido dikenal sebagai pantai yang dibatasi oleh tembok berlin ini, sehari-hari tempat hiburan masyarakat setempat sekedar bermain santai bersama teman dan keluarga.
Terlihat kapal bermuatan barang dan masyarakat yang hilir mudik. Makan siang coto Makassar menjadi pilihan tepat siang itu karena kawasan tembok berlin kerap ramai dengan aneka makanan laut di malam hari saja. Usai makan siang perjalanan dilanjutkan menuju pelabuhan Sorong, ada banyak kuli pelabuhan yang siap membantu mengangkat barang-barang kita dengan hitungan 10.000 per satu angkut barang.
Ferry penyeberangan dari Sorong ke Waisai tersedia setiap hari, dengan harga tiket Rp 120.000 rupiah. Ditempuh dalam waktu 2.5-3.5 jam apabila ombak lagi tenang, namun apabila ombak kurang bersahabat perjalanan bisa memakan waktu lima jam.
Tiba di pelabuhan Waisai kami disambut dengan tari-tarian selamat datang dari pemuda dan pemudi lengkap dengan alunan gendang dan tifa khas papua. Ritual cuci kaki di atas guci menjadi salah satu rangkaian sambutan, agar selamat sehat selama di Raja Ampat.
Usai tarian selamat datang, kami disambut pula dengan atraksi perahu motor di samping ferry bersandar, perahu motor dengan hiasan warna warni berbendara merah putih hilir mudik di laut, ada yang berputar-putar sambil memiringkan perahu, ada yang melaju bersama serempak, semua atraksi itu sangat menghibur bagi tamu yang hadir. Selamat datang di Waisai, udara terasa sejuk karena hujan baru saja mengguyur. Raja Ampat aku datang!
Pantai Waisai tercinta Pantai Waisai sejak pagi cerah, terik matahari tak menyurutkan semangat para penari dan semua pengunjung mempersiapkan pembukaan festival, kesibukan hilir mudik panitia, para tamudan masyarakat setempat begitu membuat sesak pantai Waisai, sengatan matahari yang tidak mampu berkompromi lagi tak menyurutkan sedikitpun semangat festival.
Lambaian daun-daun pohon nibo (sejenis pohon kelapa) yang menjulang tinggi menyejukkan sedikit udara panas serta menambah indah pantai Waisai Tepat pukul 11.00 siang gemuruh suling tambur bertubi-tubi menyambut kehadiran para tamu, barisan suling tambur dari kalangan pelajar, mama-mama (sebutan bagi ibu-ibu dewasa di papua), serta laki-laki dewasa silih berganti bermain tambur dan bergoyang hula-hula dengan semangat. dan terus bergemuruh menuju panggung acara yang berada ditengah-tengah pantai WTC, bukan singkatan world trade centre loh namun tak lain “Waisai Tercinta”.
Kata sambutan mengalir dari kementerian, gubernur, bupati dan perangkat daerah, namun yang paling menyentuh adalah lagu “Aku Papua” karya cipta Franki Sahilatua ini sangat merdu dinyanyikan oleh Edo Kondologit, perhatikan bait demi bait lagu ini, begitu kental kecintaan terhadap Papua dan kekayaan alam di dalamnya
Tanah Papua tanah yang kaya surga kecil jatuh ke bumi Seluas tanah sebanyak madu adalah harta harapan Tanah papua tanah leluhur Disana aku lahir Bersama angin bersama daun Aku di besarkan Hitam kulit keriting rambut aku papua Hitam kulit keriting rambut aku papua Biar nanti langit terbelah aku papua Oooh…, Oooh…,
Termenung sesaat mendengar lirik demi lirik lantunan suara Edo Kondologit, rasa haru dalam hati tersentuh melihat saudara-saudara kita di Papua yang dengan semangat membesarkan, membangun papua, negerinya negeri kita, Indonesia. Dan serempakpun satu demi satu para penonton mengikuti syair lagu “Aku Papua” gempita mengalahkan deburan ombak di pantai Waisai.
Pangkur Sagu yang energik dari pemuda pemudi papua, sebuah tarian yag menggambarkan kehidupan keseharian masyarakat papua, sagu sebagai makanan pokok, sagu sebagai sumber kehidupan. Acara pembukaan inipun di tutup dengan prosesi bersih pantai, agar masyarakat terus menjaga kebersihan pantai dan turut merawat kelestarian lingkungan di Raja Ampat.
Serangkaian kegiatan festival ini masih akan berlanjut 4 hari ke depan, antara lain lomba menyanyi, menari yospan, wayase, hula-hula, poco-poco hingga perlombaan perahu hias. Dan jangan biarkan menyiksa badanmu dengan tak turut bergoyang dalam musik dan tarian suling tambur, siapapun yang menyaksikannya tak kuasa menahan energi tarian dan musiknya.
#suasana lomba suling tambur dalam festival Raja Ampat bisa dilihat di sini:
Jangan lupa mengunjungi tenda-tenda putih berjajar di tepi pantai Waisai, aneka pameran wisata, perlengkapan diving, snorkeling, paket tour, instansi pemerintah, aneka hasil kerajinan khas papua tertata dalam setiap stand, ada topi khas arborek yang bentuknya segitiga tajam seperti kulit durian, ukir-ukiran etnik papua, kain dan aneka accecories.
Namun yang paling menarik perhatian adalah kuliner khas daerah ini, apalagi kalau bukan papeda dengan siraman ikan kuah kuning, sate ulat sagu, pangakom, ikan asar lema, sayur daun papaya kasia, lamet, dabu-dabu, kapan lagi menemukan makanan khas selengkap ini kalau tidak di festival Raja Ampat. Dan pengalaman paling luar biasa adalah pada saat saya nekad mencoba memakan ulat sagu hidup-hidup !!
Tidak syah ke Raja Ampat tanpa ke Wayag
Speed boat bermuatan maksimal 8 orang, lengkap dengan pelampung melekat di badan, hanya 6 tempat duduk tersedia termasuk driver, sehingga dua rekan kami duduk di bangku panjang di belakang, hari ini perjalanan menuju wayag, seketika hati membuncah, penasaran, riang bak ingin bertemu kekasih, wayag … “the last paradise on earth” sesaat lagi nyata adanya, karena berkunjung ke Raja Ampat menjadi kurang afdol tanpa mengunjungi Wayag.
“Wayag” ikon Raja Ampat Dimulai pukul 08.00 pagi dari pelabuhan Waisai, speed boat melaju kencang, sepanjang perjalanan hanya pemandangan indah yang kami saksikan sehingga muncul kalimat jok dari teman-teman “trada (tidak ada) yang tidak indah di Raja Ampat”, 30 menit pertama kami melintasi pulau Kabui, kabui dihiasi jajaran bukit karst, dari kejauhan anak-anak di Kabui asik bermain di laut, adapula yang duduk ditepian dermaga menunggu hasil pancingannya, speedboat kami hanya berputar-putar sejenak mengitari Kabui, karena kami mengejar waktu perjalanan tiba di wayag.
Dua jam melanjutkan perjalanan, speed boat kami memelankan kecepatannya, mau kemana kita?? “kita harus lapor dulu” begitu kata driver speed boat. Setiap pengunjung wayag di wajibkan untuk melapor di pos Conservation International Indonesia (CII), setelah mengisi buku tamu dan membayar Rp 250.000 bagi turis lokal dan Rp 500.000 untuk turis mancanegara, kita akan mendapatkan PIN berukuran diameter 6cm, PIN ini berlaku satu tahun. Dana dari PIN digunakan untuk konservasi sumber daya alam di Raja Ampat.
Seperti halnya kepulauan di Indonesia lainnya, pantai berpasir dan laut membentang, namun di Raja Ampat semua terlihat berbeda. Gugusan pulau Wayag ibarat hunian istana laut, bagaikan jamur yang berkembang di atasnya Dikelilingi pasir putih tak bernoda, air bening sebening kaca, dengan gradasi air yang berwana hijau zamrud hingga sebiru langit.
Jangan cepat meninggalkan CII, karena di dermaganya sangat banyak ikan laut yang berkumpul mengitari dermaga kayu, sesekali melintas ikan hiu, dengan merogoh kantong plastik berisi roti bekal sarapan tadi pagi, saya lemparkan secuil demi secuil roti ke ikan, dan seketika ikan-ikan bergerumul saling berebut, sungguh menggemaskan, air bening karang-karang di dalam nyapun terlihat nyata.
Terlena beberapa saat bermain-main dengan ikan dan dengan berat hati harus segera melanjutkan perjalanan menuju Wayag Empat puluh lima menit ke depan,, sudah tampak jajaran karst wayag, “ini adalah wayag kecil” kata driver boat, sambil berjalan pelan, kamipun mengambil beberapa foto di area ini.
Cukup 15 menit saja dan boat kamipun kembali melaju menuju wayag besar Kecepatan boat kembali melambat, kantuk yang tertahan seketika sirna, karena surge itu kini di depan mata. Dua buah Kapal pesiar di atasnya tersandar helicopter dan kemudian meraung-raung mengitari wayag, akhh ingin sekali rasanya turut serta di helicopter itu, pasti memotret dari udara pemandangan wayag ini jadi lebih luar biasa.
Sambil menunggu rombongan lain yang sedang berada di puncak wayag, kamipun bermain-main di pantai wayag, karena peraturan yang diberlakukan tidak boleh lebih dari sepuluh orang berada di atas, selain masalah keselamatan juga untuk kelestarian fauna.
Menikmati Pantai landai dengan aneka fauna laut, ikan laut berwarna warni bisa disaksikan dengan mata telanjang, sungguh ini surga bahari Hampir tiga puluh menit kami menunggu di bawah, dan akhirnya mendapat giliran menuju puncak, jalanan setapak ini memang lebih amat apabila menggunakan satung tangan, karena tebing-tebing karangnya tajam, sabarlah mengangkat langkah demi langkah, kemiringan tebing antara 45 hingga 80 derajat, mandi keringat? Sudah pasti, tapi ingatlah pemandangan indah menjanjikan diatas sana. Paling lambat 45 menit saja naik keatas, normalnya 15 menit sudah tiba.
Bergantian dan berhati-hatilah di puncaknya karena kita berdiri diatas karang, dan apabila merasa pusing jangan meneruskan petualangamu diatas karena tergelincir sedikit saja sudah pasti jatuh dan terbentur dinding karang. Abadikan sekeliling karena kita dapat menikmati 360 derajat keindahan dari puncaknya. Sesekali rombongan mantapun melintas dan terlihat puncak ini.
Indahnya ciptaan Tuhan, langit biru, jajaran karst yang selama ini hanya dibayangkan dalam foto, kini hadir di depan mata, tidaklah bohong keindahan itu, wayag luar biasa. Jangan berlama-lama di atas puncak, karena rombongan berikutnya menanti kita juga untuk naik. Segeralah turun, nikmati keindahan pantai wayag dari bawah sepuasnya. kembali ke Waisai, nikmati 3 jam perjalanan kembali yang tentu akan bertemu sunset, jangan tertidur, karena sunset di wayagpun pasti indah.
Sunset Waiwo
Selain sawingrai tempat menyaksikan burung cendrawasih, kampung arborek yang dikenal dengan kerajinan topinya, teluk Mayalibid dan juga atol di pulau mansuar. Jangan lupa mengunjungi Waiwo, letaknya tidak jauh dan tidak memerlukan perjalanan laut, bisa ditempuh lewat darat dengan ojek atau mobil.
Hanya lima belas menit dari kota Waisai, disini berbagai fasilitas snorkeling, diving, resort lengkap sebagai sarana wisata bahari, atau sekedar duduk diujung dermaga menikmati keindahan pantai sambil bercengkerama dengan ikan-ikan yang dipelihara, masyarakat sering menyebutkan ikan tepuk, karena dengan mendengar tepukan, ikan-ikan inipun berkerumun datang kearah kita.
Jangan cepat beranjak dari tempat ini, nantikanlah saat-saat matahari terbenam, karena tidak ada sunset yang tak indah dari waiwo, posisi yang tepat untuk menyaksikan matahari terbit maupun terbenam, kuning lembayung semburat warna warni senja menghiasi pergantian waktu hari ini.
Berkeliling di kota Waisai Menghabiskan waktu di hari terakhir di Waisai saya gunakan berkeliling kota Waisai dengan menyewa ojek, satu tujuan ojek dikenakan tarif Rp 10.000 jauh dan dekat selama masih di dalam kota. Waisai sebagai ibukota Raja Ampat menjadi pusat pemerintahan kabupaten naiklah ke aras bukit tempat gedung Pari, dari sini kita bisa memandang kota Waisai dari atas.
Perjalanan dilanjutkan ke tugu “Selamat datang” yang mirip gunung api, “Tugu Waisai” dengan dua ekor lumba lumba dan burung bertengger diatasnya dan terakhir ke Pasar Waisai, sebuah pasar tradisional biasa tempat berjual beli kebutuhan hidup sehari-hari, namun ada yang unik di pasar ini selain jajaran ikan-ikan segar, tumpukan-tumpukan buah pinang, ada juga daging kima (sejenis kerang-kerangan berukuran besar), dalam bahasa lokal disebut dengan Bia Garu ada yang segar ada pula yang sudah dikeringkan, seikat bia garu kering berisi 4-5 buah seharga Rp 10.000, dengan rasa penasaran, saya beli 3 ikat bia garu sebagai salah satu oleh-oleh dari Raja Ampat.