Blog ini ditulis untuk mengikuti blog competition program “Sustainable Mining Bootcamp IV“
Link di posting di Kompasiana sebagai Headline:
http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2013/12/20/pertambangan-sebagai-objek-wisata-why-not–621003.html
Jalan beraspal namun batu-batunya sudah mulai terlepas dari lumatan aspal hitam, nyaris membuat tubuh saya terguncang keras, namun rasa penasaran dan keingintahuan saya tentang Pongkor sudah lama sekali, dan baru kali ini terwujud, walau saya sudah 11 tahun tinggal di Bogor.
Tambang emas Pongkor masih menjadi sebuah misteri yang memberi barrier tinggi untuk di datangi. Apalagi sebelumnya banyak pemberitaan tewasnya masyarakat yang menambang emas di bukit kapur. Kebetulan seorang teman mengajak saya berkunjung ke tambang emas Pongkor. Nah kesempatan ini tentu tidak saya sia-siakan, mengenal lebih dekat, melihat bagaimana emas itu di tambang, dan proses apa saja yang terjadi.
Desa Bantarkaret, Kecamatan Nanggung, berada 54 km dari kota Bogor. Tidak ada angkutan umum ke lokasi ini, jadi kita harus menggunakan kendaraan pribadi, namun ada beberapa ojek di desa Bantarkaret yang bisa mengantarkan kita ke depan gerbang Kantor Tambang. Hampir 2 jam perjalanan, akhirnya kami tiba di gerbang penjagaan, kami diharuskan melapor di kantor, menulis beberapa data.
Setelah pengisian biodata di kantor Antam, kami di antar ke sebuah ruangan, untuk memilih uniform pengunjung tambang, mulai dari baju, helm, sepatu hingga head lamp. Dan tak berapa lama kemudian saya sudah bak seorang “lala” salah satu tokoh Teletubbies.
Menit pertama sungguh sulit untuk berjalan, karena sepatu boat hingga betis ini masih kaku saya gunakan, namun setelah berlatih sesaat, saya sudah mulai akrab dengan kostum terbaru saya. Dan kamipun siap berwisata melihat proses tambang emas ini.
Rasa penasaran tak kunjung reda, dalam pikiran saya, tentu akan melihat bongkahan emas berkilau-kilau di setiap dinding bukit, imaginasi saya liar tak terkendali. Namun setelah mendengarkan penjelasan dari pak Arif petugas yang mengantarkan kami berkeliling pabrik, saya baru mengerti, tahap-tahap yang harus dilalui untuk mendapatkan emas. Proses yang sungguh panjang.
Pengeboran tambang dengan menggunakan Sistem hydraulic jumbo drill and load haul dump (LHD), dilakukan di 3 urat kuarsa yang mengandung emas dan perak, yaitu urat Ciguha, urat Kubang Kicau, dan urat Ciurug. Terowongan utama berdiameter 3,3 meter setinggi 3 meter. Jika terus diikuti, terowongan ini akan tembus ke Gunung Pongkor yang jauhnya sekitar 4 kilometer.
Dari batu digerus menjadi lumpur kemudian diolah menjadi emas mentah. Prosesnya melewati berbagai proses mencakup menghancurkan, menggiling, sianidasi (pemisahan biji emas dari unsur logam lainnya), pencucian karbon dan pengupasan, peleburan dan pengecoran untuk menghasilkan bullion / Dore.
Proses panjang dari lumpur emas seberat 4,5 ton, akan didapatkan 45 gram emas berkadar 10 karat. Limbah atau sisa pengolahan bijih emas tersebut diolah di pabrik detoksifikasi, yang terdiri dari dua tangki, untuk mengurangi kadar sianida hingga di bawah nilai ambang batas 0,5 ppm.
Kini saya sudah berdiri di depan mulut gua, bagian atas tembok mulut gua area tambang tertulis Agustus 1992, tahun inilah muali dibangun persiapan penambangan. Tambang Pongkor yang dimiliki oleh BUMN PT Aneka Tambang Tbk (Antam) ditemukan Tahun 1981 oleh Antam Unit Geologi dan tahun 1994 mulai di tambang setelah Antam mendapat izin pertambangan di tahun 1992.
Tambang emas Pongkor mampu menghasilkan 2,5 ton emas/tahun, dan diharapkan masih terus berlanjut hingga 2019. Area tambangpun mengalami perluasan hingga tahun 2000, sehingga lokasi tambang Pongkor ini kini memiliki luas 6047 ha, dengan 1500an karyawan tambang, Pongkor menghasilkan 1200 ton lumpur emas per hari.
Setelah melongok sesaat ke dalam lorong gua, sedikit gelap di sini, …wrung ..wrung kendaraan pengeruk dengan bor panjang masuk ke dalam gua, sesaat saya harus mengalah menepi sesaat, membiarkan kendaraan bak monster itu lewat dan masuk ke mulut gua, dan kemudian sayapun menyusul menyusur lorong sambil terus mendengarkan penjelasan Pak Arif. Jalanan sedikit basah dan tidak rata, inilah fungsi sepatu boat sebetis yang saya gunakan.
…Uiingg ngiiingg … wrrrr ruugg …Sebilah besi panjang tampak menusuk ke dalam daging bukit kuarsa, kemudian di semprot dengan air, para pekerja sibuk dengan aktivitasnya, banyak titik-titik bekas bor saya lihat, dan tiap dinding dilindungi dengan mesh. Sempat terucap dalam hati “Wah sungguh nyata berat dan rumit ya prosesnya untuk mendapatkan logam mulia ini”.
Tak berlama-lama di dalam gua, Sayapun melanjutkan berkeliling melihat Tangki sianida nan menjulang tinggi, para pegawai selalu menjaga kebersihannya, sepatu boat yang digunakan selalu di cuci dulu sebelum keluar area, untuk menghindari terbawanya zat-zat kimia keluar area pabrik.
Kemudian dilanjutkan berkeliling melihat site stock pile, bulldozer wira wiri merapikan bebatuan di lapangan lebar terbuka, setelah itu ke site lainnya, di sini ada beberapa silo, silo ini sebagai tempat penampungan bahan bebatuan yang mengandung emas, untuk dilanjutkan ke proses penghancuran ke media yang lebih kecil dengan menggunakan ball mill.
Tak lupa melihat tangki-tangki netralisasi air terhadap sianidasi, agar air yang mengandung zat kimia beracun ini bisa diterima lingkungan kembali, dan tidak menghancurkan habitat satwa dan biota sekitarnya.
Hari ini sungguh luar biasa, dunia tambang yang tadinya bak misteri tak terkuak kini sudah sedikit saya fahami secara garis besar, istilah “tak kenal maka tak sayang” itu benar adanya, dengan menyaksikan proses tambang yang ada kita bisa faham, bagaimana proses sebuah benda mulia ini. Dengan begitu kita akan lebih bijak memperlakukan dan menjaganya.
Kalaupun nanti cadangan emas Pongkor telah habis, yang diperkirakan hanya sampai tahun 2019, kawasan tambang ini tetap bisa menjadi objek wisata. Didukung oleh dekatnya dengan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun, agar bekas-bekas tambang bukit kuarsa bisa kembali menjadi kawasan nan asri.
Seperti halnya dengan Kota Sawahlunto yang juga sempat saya kunjungi, sebuah bekas area tambang batubara kini berubah indah. Kerukan tanah yang membentuk endapan air kini sudah di beri nama sebagai danau Kandi dan Danau tandikek, dilengkapi gazebo tempat bersantai, kawasan tambang 400 ha kini kembali membentuk habitatnya bersatu memulihkan lingkungannya dengan alam.
Ada pula lorong bawah tanah yang dikenal dengan lorong mbah Suro, sebuah lorong tambang batubara zaman dahulu, sejak 2006 sudah direnovasi dengan tetap mempertahankan bentuk aslinya, kini sudah berubah pula menjadi kawasan wisata tambang.
Sejarah tambang zaman dahulu, merasakan berada di dalam lorong tambang, melihat batubara menempel pada tiap dindingnya, ditambah lagi wisatawan bisa juga merasakan menaiki kereta api uap sebagai alat angkut batubara zaman dahulu, tentu semua menjadi pengalaman berarti bagi siapa saja yang mengunjunginya.
Kembali selaras dengan Lingkungan
Indonesia Negara yang kaya, jutaan ton hasil tambang masih tersimpan di dalamnya. Proses tambang tentu akan terus bergulir sepanjang masa. Namun hakekat hidup manusia yang seimbang dan menyatu dengan alam tentu perlu juga di tindak lanjuti sebagai sebuah kelestarian lingkungan.
Diharapkan proses tambang tak serta merta menghancurkan keseimbangan populasi, tambang untuk kemakmuran, tambang untuk kesejahteraan umat, jangan sampai menjadi tragedi yang menjadi sumber kerusakan.
Sehingga urusan kelestarian berkelanjutan bukan saja tugas perusahaan, namun juga masyarakat, dengan turut sertanya masyarakat melihat dengan kunjungan ke daerah tambang, kita semua bisa turut memantau, membantu dalam segala aspek yang bisa dilakukan, seorang guru menjelaskan, menyampaikan proses pada murid-muridnya, seorang wartawan membantu membuat berita yang informatif dan aktual, seorang fotografer menghasilkan foto yang bercerita terhadap suatu proses tambang, dan efeknya terhadap kehidupan.
Pemerhati lingkungan turut menyumbangkan ide-ide pelestarian. Segala aspek masyarakat bisa saling bersinergi. Kawasan tambang bukan menjadi kawasan tertutup lagi yang ber-label perusak lingkungan.
Proses tambang yang lestari, mungkin terlalu naïf ya pemikiran tersebut, namun dengan usaha-usaha membuka diri terhadap kegiatan tambang tak lagi menjadi momok menakutkan, namun bersinergi untuk terus menjadi saksi perputaran dalam sebuah ekosistem yang lebih baik. Semoga …