Fenomena Si Api Biru | Pertama sekali saya mengenal kawah Ijen adalah dari sebuah majalah travel yang menggambarkan para pekerja tambang belerang. Kesan pertama yang saya lihat adalah kegigihan para pekerja tambang. Hingga akhirnya 3 tahun berikutnya baru keinginan mengunjungi Kawah ini terwujud.
Setelah menyaksikan serangkaian upacara Nyepi di Bali, saya memutuskan singgah di Banyuwangi, karena jarak Banyuwangi dan Bali sebagai Icon wisata terkenal di dunia sangat dekat, hingga tak sulit bagi Banyuwangi untuk menduduki posisi yang sama, pilihannya tinggal dari Bali akan meneruskan ke Barat yaitu Banyuwangi atau ke pulau Lombok di sebelah Timurnya.
Namun Banyuwangi memiliki apa yang Bali bahkan dunia lain tak miliki, yaitu fenomena si api biru “Blue fire” yang dihasilkan dari gas belerang yang teroksidasi hingga menghasilkan warna kebiruan. Di Indonesia hanya dimiliki oleh kawah Ijen dan Islandia sebagai penyaji “blue fire” lainnya. Sebuah kebanggan sendiri bukan?
Kawah Ijen identik dengan kawah belerang, itu adalah julukan yang banyak di kenal di masyarakat. Saya sebagai seorang fotografer memandang Kawah Ijen sama indah dengan Kawah Bromo, namun kawah Ijen memiliki kelebihan lain yang tak dimiliki kawah-kawah lain di Indonesia, yaitu produksi belerang yang terus menjadi sumber perputaran ekonomi bagi masyarakat. Dua peran penting yang bisa menjadi nilai ekonomis di kawasan ini, yaitu objek wisata alam, dan sumber tambang
Posisi kawah ijen sebagai objek wisata sudah di mulai dari pelabuhan. Perjalanan dengan menggunakan bis dari kota Denpasar hingga tiba di pelabuhan Banyuwangi hanya memakan waktu 12 jam. Tiba pukul 23.00 dan di pelabuhan saya sudah di jemput oleh pemandu saya dan kami langsung menuju Pos Paltuding sebagai Pos pertama untuk melakukan pendakian ditempuh dengan sepeda motor, selama 1.5 jam.
Udara dingin mulai terasa, bergegas memasukkan barang di penginapan di Pos Paltuding, dan bergegas mengganti pakaian trekking, 30 menit kemudian saya sudah siap untuk memulai perjalanan.
Tepat pukul 01.30 saya sudah mulai perjalanan, dingin menggigit, beberapa rombongan lain juga sudah memulai perjalanannya, saya berjalan pelan dan santai saja, karena perjalanan dari Denpasar cukup menguras energi, hingga rasanya belum cukup waktu untuk tidur.
Namun karena ingin mendapatkan pemandangan fenomena si api biru “Blue fire”, maka saya memaksakan diri untuk berangkat dini hari. Kebetulan cuaca cukup bagus, bintang bertebaran di langit kelam. Namun baru 30 menit berjalan, saya mulai hilang keseimbangan, rasa mual dan keringat dingin menerpa, saya mulai kekurangan oksigen, hingga akhirnya saya meminta berhenti di pos peristirahatan.
Rasa kantuk yang tak tertahan lagi, jas hujan plastik yang sudah saya bawa saya gunakan saja untuk berjaga-jaga apabila mendadak turun hujan, dan sekaligus mengurangi udara dingin yang menerpa. Namun minimnya shelter dan kondisi shelter yang tidak mumpuni membuat kesulitan bagi saya untuk beristirahat, akhirnya saya tidur saja di tanah hingga ketika rombongan lain mendadak menyenter saya dan dalam perbincangan itu mengira saya adalah mayat tergeletak di tanah, hingga seketika saya harus mengakhiri tidur yang sesaat ini agar mereka tidak terus menduga-duga dan membuat kehebohan.
Bangun dari lelap, serta merta udara dingin membuat saya ingin membuang air, namun tidak ada tempat membuang air disini, bahkan hingga pos akhir juga tidak ada kata porter saya. Dan dengan terpaksa saya bersembunyi saja di balik semak rerumputan.
Perjalanan dilanjutkan selama hampir 2 jam, tiba tepat waktu, yaitu 30 menit sebelum matahari terbit saya sudah berada di bibir kawah, “blue fire” api biru yang di nanti sudah terlihat di depan mata. Segerombolan pengunjung lain juga begitu takjub menyaksikannya, semburat biru di antara kuning, merah dan awan putih menyajikan tontonan alam yang luar biasa. Decak kagum tiada henti, tak lupa beberapa moment saya abadikan dengan kamera DSLR saya.
Perlahan matahari mulai menampakkan diri, biru itu kini tinggal gumpalan awan putih kekuningan, dan satu persatu mulai tampak para penambang turun ke arah kawah, tak tertinggal sayapun mengikuti gerak langkah mereka, walau pada akhirnya saya pun tertinggal jauh, tak mampu mengejar kelincahan langkah pekerja tambang. Awan tebal mulai merambah kawah, aroma belerang semakin menyengat.
Satu waktu saya sudah tak sanggup dengan mulut telanjang berjalan, untungnya porter saya sudah menyediakan masker dengan kualitas baik, berbentuk dua corong di kiri dan kanan, menurut saya inilah masker yang rekomen, karena kalau sekedar menggunakan kain, atau masker satu mulut kurang mumpuni, kalau menggunakan kain tentu merepotkan, dan akan sulit bernafas karena hidung tertekan.
Sedangkan masker satu cerobong mempersulit pandangan kita saat melihat kebawah, padahal penglihatan yang baik sangat penting karena medan kearah kawah, rapuh dan kurang stabil, sangat rentan akan longsor.
Saya sudah tiba di tepi air danau, puluhan pekerja sibuk dengan aktivitasnya, ada bagian menyongkel, mengangkat ke keranjang dan memikulnya di bahu mereka, sesekali terhenti oleh awan tebal yang menyapu bersih area tambang.
Sungguh pemandangan yang unik sekaligus menyentuh, betapa tidak, satu pikulan keranjang saja beratnya 30-40 kg, dua keranjang bisa mencapai 80 kg. dan keranjang penuh bongkahan belerang ini harus diangkut sejauh hampir 1 km ke atas, dan menempuh 3km lagi hingga tiba di pengepulan.
Luar biasanya, 95 persen pekerja disini tidak menggunakan masker, suara batuk rejan menyesak dada kerap terdengar, tersentuh iba rasanya mendengar dan menyaksikan langsung aktivitas tambang di sini.
Keindahan kawah danau dengan air kebiruan mulai tampak jelas, angin membawa kabut tebal dan asap belerang menjauh dari danau, hingga semua kini tampak terlihat jelas. Indahmu kawah tiada tara, sungguh fenomena yang kontroversial dari batuk rejan pekerja tambang dibandingkan dengan keindahan danau kawah Ijen ini.
Duduk menjauh dari sumber asap belerang, mengamati gerak gerik seorang pekerja yang sibuk mondar mandir mengambil cairan berwarna coklat keemasan dalam guntingan derijen plastik, sayapun menghampiri pelan dan bertanya “ cairan ini untuk apa Pak??” dengan santai sambil menyiran-nyiramkan cairan ke kayu sederhana yang tampak sekilas mirip rangka poho, perlahan cairan membeku berubah kuning.
“ini untuk oleh-oleh dari kawah ijen”, nanti dijual Rp 5000 – Rp 10.000/buah, lumayan untuk tambahan beli makan kami. Uhmm ide kreatif si Bapak cukup bagus. Ternyata selain di tambang cairan-cairan belerang ini dicetak dengan berbagai bentuk, ada bentuk pohon, Hello Kitty, love, Donal bebek dan segala bentuk tokoh kartun ternama, dan mereka menjualnya sebagai tambahan pemasukan sehari-hari.
Puas melihat-lihat di sekitar danau, sayapun kembali naik ke Pos Penimbangan, sungguh perjuangan tak mudah untuk kembali naik. Tak terbayang pekerja ini harus 2-3 kali bolak balik dengan beban di pundak, pundak luka berdarah dan menebal menjadi pemandangan yang tak aneh disini.
Inilah bentuk perjuangan sesungguhnya yang bukan lagi saya lihat di sebuah majalah, namun sudah saya saksikan sendiri dalam mengejar si Api Biru.
Duduk lemas di pos penimbangan, segelas kopi dan sebungkus kacang menjadi teman saya beristirahat, masing-masing pekerja menimbang hasil tambangnya, 60 kilo …75 kilo ..teriakan pekerja pada kurir tambang. Untuk setiap kilo belerang mereka mendapatkan upah Rp 750.000. jadi apabila sekali angkut 70 kg tinggal kalikan saja berapa upah pekerja ini.
Cobalah mengangkut pikulan yang tertengger di sini, agar kamu juga bisa merasakan seberapa berat pikulan mereka. Ahhhh jangankan memikulnya, baru menahan beberapa detik saja bahu saya terasa sudah sangat sakit. Ya inilah realitas kehidupan saudara kita di kawah Ijen. Kawah Ijen saksi sebuah kekayaan Alam, wisata dan kerja keras.
Beberapa hal yang menjadi perhatian saya untuk pembenahan wisata di Kawah Ijen:
- Menambah jumlah shelter sepanjang perjalanan menuju kawah.
- Tersedianya sarana wc umum minimal di dua pos, agar kebersihan kawasan cagar alam bisa terpelihara.
- Souvenir yang dibuat para pekerja tambang perlu dilakukan lebih kreatif dan inovatif ditinjau dari segi kualitas dan kuantitas. Souvenir yang saya beli sangat rentan pecah, hingga perlakuannya harus sangat hati-hati. Jadi untuk ke depan perlu pemikiran lebih lanjut bagaimana design dan daya tahan dari belerang ini bisa lebih kuat.
- Penginapan di pos paltuding perlu diperbaiki dari segi kebersihan, kenyamanan. Dengan biaya 100.000, saya menilai kondisinya kurang memadai, kasur kotor dan atap bocor, dan fasilitas wc jauh dan ketersediaan air yang kurang.
- Toko-toko souvenir baiknya juga menyediakan penjualan masker yang baik, dan warung makan yang menyediakan makanan dengan sajian yang variatif. Hingga wisatawan bisa lebih betah berlama-lama di kawasan ini.
- Ada baiknya kawasan turun ke danau dan mendekat kearah fenomena si api biru “Blue fire” di tutup saja, sehingga pengunjung hanya bisa menikmati keindahan dari atas, karena kondisi medan dengan tanah yang tidak stabil cukup membahayakan.