Kota Hantu | Jangan buru-buru cemas, itu hanya dongeng zaman dahulu, mengisahkan ketika ada seorang pemuda bernama Syarif Abdurrahman Alkadrie sedang berlayar menyusuri sungai Kapuas, dalam perjalanannya beliau kerap bertemu dengan sosok kuntilanak, oleh etnis Tionghoa disebut Khun Tien dan bahasa Melayu menyebutnya Puntianak,
Karena merasa tidak nyaman maka untuk mengusir kuntilanak tersebut sang pemuda melepaskan meriam, tempat jatuhnya meriam itu berada di simpang tiga sungai Kapuas dan sungai Landak dan pada akhirnya tempat inilah dianggap sebagai pusat pemerintahan, yang kini menjadi pusat kota Pontianak, namun hanya mitos yang belum tentu kebenarannya yang berkembang sebagai buah bibir dari waktu ke waktu.
Berdasar catatan sejarah, berdirinya kota Pontianak diawali masa ketika tahun 1181 Hijriah rombongan Syarif Abdurrahman Alkadrie memasuki hutan sekitar simpang tiga sungai Kapuas dan sungai Landak untuk mendirikan tempat tinggal, tempat tinggal yang tadinya hanya satu dan dua rumah berkembang menjadi sebuah perkampungan.
Sejalan berjalannya waktu jiwa kepemimpinan yang dimiliki Syarif Abdurrahman Alkadrie maka diangkatlah beliau sebagai Sultan pada tahun 1192 Hijriah dan kemudian mendirikan Mesjid Jami’ dan istana Kadriah di daerah tersebut yang kini dikenal daerah Beting Kampung Dalam Bugis Pontianak Timur atau kota Pontianak.
Saat ini dengan slogan “Kota Bersinar”, Pontianak berkembang pesat. Potensi perdagangan dan industri didukung oleh sarana transportasi darat, sungai, laut dan udara yang sangat baik. Bandara Supadio yang berada di kabupaten Kubu Raya berjarak 17 km dari Kota Pontianak bisa ditempuh hanya dalam waktu singkat 20 menit saja.
Terminal Batulayang sebagai terminal antar kota siap melayani para penumpang ke berbagai kota Kabupaten, uniknya di kota ini dijumpai sungai Kapuas yang membelah kota Pontianak. Sungai Kapuas dengan panjang kurang lebih 1.000 kilometer, merupakan sungai terpanjang di Indonesia.
Tugu Khatulistiwa
Sebuah prasasti di dalam kompleks Tugu Khatulistiwa, bertuliskan pada 31 Maret 1928 satu ekspedisi internasional yang dipimpin oleh ahli geografi berkebangsaan Belanda datang ke Pontianak untuk menentukan titik khatulistiwa. Pada tahun itu dibangun tugu pertama berbentuk tonggak tanda panah dan disempurnakan kembali pada tahun 1930.
Seorang Arsitek terkenal Fx. Silaban tahun 1938 menyempurnakannya dan membangun tugu yang baru dengan empat tonggak kayu belian menopang lingkaran dengan anak panah penunjuk arah setinggi sekitar 4,40 meter. Renovasi pembuatan kubah untuk melindungi tugu yang asli kembali di lakukan pada tahun 1990, dibuatlah duplikat tugu berukuran lima kali lebih besar dibandingkan dengan tugu yang aslinya dan diresmikan pada tanggal 21 September 1991.
Teriknya daerah Khatulistiwa mengegaskan saya mencari tempat berindung, memasuki kubah ruangan berpendingin ini sungguh hadiah besar buat saya yang sudah sangat gerah di luar. Banyak informasi penting di dalam kubah, susunan buku-buku tentang geografi tertata rapi dalam lemari kaca, artikel-artikel penting yang terbingkai dalam bingkai besar, beraneka foto tentang sejarah tugu Khatulistiwa dari masa ke masa.
4 buah pilar bulat dan tinggi menopang ruangan melingkar persegi, dua baris atap kaca menghiasi langit-langit kubah sehingga siang hari ruangan cukup terang walau tanpa penerangan lampu sama sekali, disisi lain dekat pintu keluar tertata souvenir miniatur tugu khatulistiwa di dalam kaca.
Minum tanaman Ajaib
Mengapa ajaib? Ya dari namanya yang mengerikan namun khasiatnya tak terhingga, dari penyubur rambut, penyembuh luka, mengontrol tekanan darah hingga perawatan kulit. Nama lidah buaya, entah darimana asal usul pemberian nama tersebut namun tanaman lidah buaya menjadi sangat popular di Pontianak.
Dikenal dengan nama Latin Aloe vera. Berasal dari kepulauan Canari, Afrika Utara ternyata bisa tumbuh subur di lahan gambut yang mendominasi daerah Pontianak Minum es lidah buaya adalah tujuan saya berikutnya setelah meninggalkan Tugu Khatulistiwa.
Lima kilometer ke arah kembali ke kota Pontianak kita akan menemukan persimpangan dan berbelok ke kiri, apabila masih bingung tanya saja dimana jalan 28 Oktober, tentu penduduk di sini sudah sangat tahu, “sebuah nama jalan yang unik” gumam saya.
Sepanjang jalan di sisi kanan dan kiri kawasan jalan 28 Oktober, beberapa warung terlihat menjual aneka hasil kebun, ada ubi, pepaya, bengkuang, juga talas, uniknya talas di sini bernuansa merah muda, berbeda dengan talas yang biasa saya lihat di Bogor yang semburat berwarna putih.
Kemudian mata saya tertuju pada satu susunan rapi berawuran hijau berbentuk panjang dan berduri, “lidah buaya besar sekali” teriak saya, untuk pertama kali melihat lidah buaya ukuran raksasa!, biasanya lidah buaya paling besar saya lihat berukuran 20-30 cm dan lebar 5cm, namun di sini panjangnya bisa mencapai 80 cm dan lebar 15cm. Satu helai lidah buaya beratnya mencapai 1 kg.
Begitu takjubnya saya sehingga secara spontan mengambil dua buah lidah buaya dan saya berfoto dengan gaya menempelkan lidah buaya di samping kiri dan kanan telinga, seolah menjadi seekor kelinci bertelinga panjang.
Apabila berminat membelinya, satu kilo lidah buaya bisa di bawa pulang dengan harga Rp 2500 saja namun teriknya siang itu tak membuat saya tahan berlama-lama, bergegas ingin segera menyambangi warung-warung tepi jalan yang menjajakan minuman es lidah buaya tadi, tak sabar rasanya ingin merasakan es lidah buaya yang sangat terkenal.
Tak jauh dari warung penjaja tadi, kita bisa menemukan banyak warung sederhana yang menyediakan es lidah buaya sebagai menu utama, di depan warung jajaran plastik berukuran 2 kiloan bergelantungan berisi potongan lidah buaya, ada yang berbentuk dadu ukuran 2×2 cm, ada juga yang lembaran.
Tak berapa lama duduk di warung, minuman lidah buaya dingin sudah di hadapan mata, tak juga memakan waktu lama, setengah gelas langsung masuk ke dalam tenggorokan kering saya, nikmat, segar sekali, sendok kecil yang tertanam di gelas saya gunakan memasukkan satu persatu potongan kecil dadu lidah buaya ke mulut, kesegaran 7000 rupiah di siang hari.
Produk-produk olahan yang bisa dihasilkan dari lidah buaya ini pun beraneka ragam, bukan saja sekedar dijadikan minuman, namun juga ada kerupuk Lidah Buaya, coklat Lidah Buaya, dodol Lidah Buaya, Jelly Lidah Buaya, bahkan Teh Seduh Lidah Buaya.
Keraton Kadariah
Usai melepas dahaga di jalan Budi utomo perjalanan saya lanjutkan kearah kota Pontianak kembali, kurang lebih 30 menit perjalanan melalui darat. Setelah melewati jembatan sungai Kapuas di jalan Tanjung raya, di sebelah kanan jalan terlihat sebuah gapura megah berwarna krem tua di atasnya ada 3 buah atap berwarna hijau tua menyerupai bentuk atap mesjid Jami’, di tengah dinding gapura tersebut tertulis “Awak datang kame sambo” yang artinya (kalian/kamu datang kami sambut) di istana kadariah kesultanan Pontianak.
Setelah melewati gapura tidak sulit menemukan istana, apabila bingung mencarinya, jangan ragu untuk bertanya, karena semua penduduk disini tentu sudah hafal dimana letak Istana di Kampung Beting, Kelurahan Dalam Bugis, Kecamatan Pontianak Timur.
Istana Kadriah yang sangat lekat dengan asal usul lahirnya kota Pontianak ini didirikan pada tahun 1771 Masehi / 1185 Hijriah, dari sinilah kita bisa mengetahui dan melihat sejarah berdirinya kota Pontianak, kepemimpinan kesultanan dari generasi ke generasi.
Lima puluh meter di depan istana berdiri gapura menyerupai rumah panggung, di halaman depan sudah disambut dengan meriam kuning legendaris, istana kayu seluas 60 x 25 meter ini masih terlihat terawat, walau dengan halaman rumput yang kurang terpelihara.
Saya kemudian menaiki anak tangga kayu teras istana, konon disinilah Sultan sering beristirahat dan menikmati keindahan sungai Kapuas dan sungai Landak. Kemudian menuju pintu utama yang tinggi 3 kali badan saya, dua helai daun pintu terbuka lebar, pemandangan langsung disuguhi sebuah ruang utama yang didominasi warna kuning.
Warna kuning ini sebagai simbol kewibawaan dan budi pekerti, sebuah pelaminan dengan dua buah kursi kayu tertata rapi,karpet hijau lebar terhampar di lantai kayu, para pengunjung pun silih berganti berfoto dengan latar belakang pelaminan apik ini.
Satu demi satu hiasan di dinding istana saya perhatikan, berbagai foto kuno zaman pemerintahan Sultan, suasana perundingan, suasana istana tempo dulu, keluarga kesultanan, dan foto-foto masa kepemimpinan sultan dari waktu ke waktu, deretan guci-guci antik tertata di lantai kayu.
Masuk ke ruang belakang pelaminan tertata tiga set kursi tamu model kuno, serta beberapa lemari kaca yang memuat aneka pakaian tradisional serta barang-barang milik kesultanan. Ada enam buah kamar tidur di istana ini, namun hanya satu yang dibuka untuk umum yaitu ruangan di kanan depan, dahulu sebagai kamar pribadi Sultan, berkarpet biru, dengan tirai, alas tidur, bantal yang juga berwarna kuning, di dinding kamar bergantungan aneka lukisan dan foto-foto kerabat istana, meja rias, lampu hias dan lemari pakaian.
Di kanan dan kiri istana dipagari dengan pagar besi walau tampak sudah berkarat tetap terlihat bersahaja, dengan ornamen bulan dan bintang menempel pada pagar sebagai tanda bahwa Kesultanan Pontianak merupakan Kesultanan Islam Tercatat pula di istana ini beberapa Sultan yang pernah memegang tampuk Pemerintahan Pontianak
- Syarif Abdurrahman Alkadrie memerintah dari tahun 1771-1808
- Syarif Kasim Alkadrie memerintah dari tahun 1808-1819
- Syarif Osman Alkadrie memerintah dari tahun 1819-1855
- Syarif Hamid Alkadrie memerintah dari tahun 1855-1872
- Syarif Yusuf Alkadrie memerintah dari tahun 1872-1895
- Syarif Muhammad Alkadrie memerintah dari tahun 1895-1944
- Syarif Thaha Alkadrie memerintah dari tahun 1944-1945
- Syarif Hamid Alkadrie memerintah dari tahun 1945-1950
- Sultan Sayyid Syarif Abubakar Alkadri bergelar Pangeran Mas Perdana Agung
Poin terpenting dari deretan kesultanan tersebut adalah bahwa sketsa Burung Garuda sebagai lambang Negara Indonesia pertama kali dibuat oleh Sultan ke delapan yaitu Syarif Hamid Alkadrie yang diambil dari sebuah simbol kerajaan Sintang yang berbentuk Garuda
Masjid Jami’
Seusai menikmati keindahan istana Kadriah, dilanjutkan mengunjungi mesjid Jami’, mesjid yang sangat erat kaitannya dengan keberadaan istana Kadriah, berjarak kurang lebih 200 meter di sebelah barat Istana, mesjid ini dikenal pula dengan sebutan mesjid Jami‘ Sultan Abdurrahman, sebagai bentuk rasa penghormatan Syarif Usman sebagai anak Sultan Sayyid Syarif Abdurrahman Alkadrie, yang dimasa kepemimpinannya melanjutkan kembali pembangunan mesjid ini.
Zaman dulu mesjid Jami’ beratap rumbia kini menggunakan sirap dari potongan tipis kayu belian. Atapnya bertingkat empat, berjejer jendela-jendela kaca berbentuk persegi empat berukuran kecil bercat krem pada kayunya, dan bagian paling atas atap berwarna hijau berbentuk menyerupai stupa di candi borobudur. Semua konstruksi mesjid ini didominasi kayu belian.
Masjid Jami’ yang berada di permukiman padat penduduk Kampung Beting, masih termasuk dalam kelurahan Dalam Bugis. Di seberang mesjid ada bangunan mirip joglo berukuran kurang lebih 5×5 meter, sebagai tempat naik dan turun penumpang yang datang melalui jalur sungai Kapuas, berdiri di tempat ini saya dapat menyaksikan lalu lalang transportasi sungai dari speed boat, perahu kayuh, perahu bermotor, bandong, ataupun orang-orang yang asik duduk memancing ikan
Museum Kalbar
Tak lengkap rasanya kalau berkunjung ke suatu daerah apabila tak mengunjungi museum, karena dari museum inilah kita bisa mengetahui berbagai informasi nyata tentang budaya dan kehidupan asli di sebuah daerah.
Museum Negeri Pontianak yang terletak di Jalan Ahmad Yani, memiliki berbagai koleksi bernilai budaya dan sejarah Kalimantan Barat, berisi informasi pengenalan kebudayaan tiga etnis besar di Kalimantan Barat yaitu Dayak, Melayu dan Tionghoa.
Aneka kerajinan patung, tempayan kuno, bentuk-bentuk bangunan tradisional dipamerkan di dalam museum. Museum dengan halaman seluas lapangan sepak bola ini dihiasi oleh kolam kecil di bagian kanan dengan hiasan patung “Selamat Datang”.
Ada yang unik dari sepasang patung ini, yaitu sosok wanita menggunakan pakaian etnis Dayak dan sosok laki-laki menggunakan pakaian etnis Melayu, hal ini melambangkan bahwa Kalimantan barat merupakan perpaduan dua budaya asli yang sangat kental yaitu Melayu dan Dayak. Sepintas bangunan museum ini menyerupai arsitektur rumah panjang atau rumah betang yang menjadi ciri khas suku Dayak.
Jalan Pattimura
Apa uniknya jalan ini? Jangan lupa mampir sebelum beranjak meninggalkan Pontianak, tak perlu pusing dan repot berputar mencari dan berbelanja oleh-oleh, karena sepanjang jalan Pattimura dipenuhi pertokoan yang berjualan aneka souvenir khas Kalimantan Barat, mulai pernak pernik gelang dari batu, kalung, gantungan kunci, batik, kaos ,miniatur tugu khatulistiwa, sandal hingga makanan khas, mulai dodol, kue kering, kripik talas, lempok durian.
Tak jarang penduduk Kucing dari negara tetangga juga sering mampir berbelanja juga disini karena jarak yang cukup dekat dengan perbatasan Indonesia-Malaysia. Satu hal lagi jangan sampai terlewatkan, yaitu menikmati sajian khas Pontianak, hadirnya etnis Tionghoa membawa pengaruh juga terhadap kekayaan makanan di kota ini, coba rasakan kwitiau khas Pontianak berwarna kecoklatan oleh kecap berisi irisan daging sapi dan toge, sangat lezat dinikmat dengan minuman khas air tahu / kembang tahu (pati kedelai).
Cukup kenyang menyantap kwetiau tepi jalan Pattimura ini, sayapun bergegas kembali ke hotel dengan membawa sekantong belanja berisi oleh-oleh
Taman Alun Kapuas
Kembali ke hotel setelah seharian mengelilingi Pontianak, sambil beristirahat duduk santai dari balkon hotel, memandangi suasana sore hari dari atas, seakan sebuah kota yang tak pernah lelah, beraneka bentuk kapal kembali hilir mudik tiada henti, dari balkon ini juga bisa terlihat di sebelah kiri pelabuhan Pontianak, lengkap dengan kesibukan kegiatan bongkar muat barang, serta jajaran rapi kapal-kapal besar di tepi sungai.
Kapal pengangkut minyak, pengangkut kayu, kapal wisata, ojek sepit (sebutan buat perahu kecil/ramping), kapal Bandong (kapal dari kayu yang dirancang menyerupai rumah terapung), motor Klotok (kapal kecil yang mempunyai bunyi khas berupa letupan suara knalpot motor klotok yang sahut menyahut), dan aktivitas Pelampong atau ferry penyeberangan yang sejak jam enam pagi hingga pukul delapan malam siap siaga hilir mudik membelah sungai Kapuas.
Matahari perlahan terbenam, semburat jingga menghias langit kota, saya bergegas turun dari hotel dan menuju alun alun di sebelah kanan. Taman Alun Kapuas sebutan yang biasa dikenal disini, berada di jalan Rahardi Oesman, tepat di seberang kantor Walikota.
Tempat ini menjadi pusat berkumpulnya masyarakat, biasanya dimanfaatkan untuk sekedar mencari udara segar, menikmati pemandangan, berolahraga, bermain dan bercanda bersama keluarga, atau sekedar duduk menikmati aneka sajian jajanan, beragam pula mainan anak-anak dijajakan di sini.
Di tengah alun-alun, berdiri megah sebuah replika tugu Khatulistiwa, seolah kembali mengukuhkan bahwa Taman Alun Kapuas ini memang berada di kota Khatulistiwa, dengan hiasan air mancur di sekelilingnya menambah indah suasana sore.
Hari semakin gelap, semakin ramai yang berdatangan kesini, kebetulan hari ini adalah malam minggu, menjadi puncak keramaian dibanding hari-hari biasanya. Asap-asap mengepul dari sajian sate, jagung bakar, jagung rebus dan aneka gorengan, alunan musik dangdut berkumandang silih berganti dari penjual CD, pengamen berkeliaran mencari mangsa, di sudut-sudut alun sekumpulan pemuda bergerombol, mengulik keingintauan saya.
Sambil berjinjit saya berusaha melihat dari celah punggung-punggung mereka, sebuah permainan tebak-tebakan batu yang diletakkan di balik cawan kecil, setumpuk uang sepuluh ribu, duapuluh ribu hingga lembaran biru terlempar dari satu dan dua lelaki, dalam hati saya mencoba-coba ikut menebak dimana gerangan letak batu itu berada di antara tiga cawan,diputar bolak balik cawan-cawan itu ke kiri ke kanan ke tengah balik lagi selama 10 detik.
Horeee 98 persen benar tebakan saya, cukup menghibur menyaksikannya, namun lebih baik saya memilih pergi saja meninggalkan tontotan seru tadi, saya menuju arah tepi sungai mencari tempat duduk taman, sayangnya bangunan beton tempat duduk ini tidak terlalu banyak sehingga cukup lama saya berdiri di tepi pagar sambil mengudap jagung bakar menikmati kehidupan keramaian malam di Taman Alun Kapuas dan berharap ada yang beranjak meningalkan tempat duduknya. . . seraya berucap Selamat malam Pontianak
Hotel di Pontianak
- Hotel Aston (*4) Jl. Gajah Mada
- Hotel Mercure (*4) Jl. A. Yani
- Hotel Grand Mahkota (*4) Jl. Sidas
- Hotel Kapuas Palace (*3) Jl. Imam Bonjol
- Hotel Santika (*3) Jl. Diponegoro
- Hotel Orchardz Gajah Mada (*3) Jl. Gajah Mada
- Hotel Orchardz A. Yani (*3) Jl. Perdana
- Hotel Kini (*3) Jl. Nusa Indah I
- Hotel Peony (*3) Jl. Gajah Mada
- Hotel Star (*3) Jl. Gajah Mada
- Hotel Gajah Mada (*3) Jl. Gajah Mada
- Hotel Garuda (*3) Jl. Veteran
- Hotel Kapuas Dharma Jl. Imam Bonjol
- Hotel Merpati (*2) Jl. Imam Bonjol
- Hotel Grand Kartika (*2) Jl. Rahadi Oesman
- Hotel Borneo Jl. Merdeka
- Hotel Orient Jl. Tanjungpura
- Hotel Queen Jl. Hijas
- Hotel 2000 Jl. Gajah Mada
- Hotel 95 Jl. Imam Bonjol
jaga dan lestarikan