Ambon ke Banda Neira
Landing mulus di Bandara Banda Neira, Maluku, memecahkan suasana hening selama hampir 1 jam berada di udara dari Ambon menuju Banda Neira. Sontak tepukan tangan bak konser opera dari beberapa penumpang membuyarkan lamunan saya, karena penerbangan perintis ini menggunakan pesawat yang sudah cukup tua, yang tentu berbeda jauh dengan pesawat tipe Boeing yang berbadan lebar dan kelengkapan yang canggih.
Wajar saja seluruh penumpang merasakan cemas, sehingga landing apik oleh Kapten Bambang menjadi prestasi yang layak mendapat applause. Dengan sigap pak Tursip sebagai pramugara membukakan pintu belakang pesawat Casa 212 yang terbang hanya 4 kali seminggu yaitu hari Jumat, sabtu, Minggu dan Senin setiap pukul 07.00 pagi dari Ambon.
Aroma basah serta merta menyengat hidung saya, sepertinya Banda Neira baru saja diguyur hujan subuh tadi, landasan masih ada sedikit genangan air, dan rumput-rumput taman yang tampah basah, memandang ke atas, langit mulai menampakkan biru cerah, perlahan matahari mengintip di balik awah tebal.
“Cuaca memang sering tidak menentu di Banda Neira”, ujar pak Turnip sang pramugara, ketika saya mulai memotret pesawat perintis ini dengan tulisan “Banda Neira” disampingnya, dan perbincangan singkat saya segera berakhir setelah semua penumpang yang berjumlah 12 orang sudah habis meninggalkan landasan.
Cuaca yang cepat berubah cerah dan cepat pula memburuk. Oleh karena itu penerbangan ke dan dari Banda Neirahanya berlangsung di pagi hari.
Banda Neira
Banda Neira, berasal dari dua buah nama pulau, yaitu pulau Banda dan pulau Neira. Bandara udara berada di pulau Neira dan pulau Banda ada di seberang pulau Neira yang bisa ditempuh dengan perahu bermotor selama kurang dari 30 menit.
Tiba di bandara saya dan rekan sudah di jemput oleh pihak penginapan, penginapan ini sebaiknya booking jauh hari karena kunjungan ke pulau Banda Neira relative padat akhir-akhir ini sejak tanggal 4 Mei 2013, penerbangan perintis mulai dibuka kembali.
Kami menginap di Delfika guest house, bangunan tua bergaya eropa dimana-mana, seakan membawa kita jauh terhempas tahun 1600an. Semua masih tampak seperti asli, terbanyang di benak noni Belanda nan cantik ala film-film zaman peperangan, serdadu Belanda dengan seragam hijaunya, atau juragan rempah-rempah ala mandor bertopi putih dengan sepeda kumbang.
Tiga hari ke depan, pasti hari-hari saya menyenangkan disini. “ini kunci kamarnya , kamar ujung” begitu kata pak Bahri sambil mengantar kami menuju bagian dalam rumah tua. Kamar berukuran 5 x5 m persegi, dengan berpendingin ruangan dikenai tarif Rp 200.000 permalam beserta sarapan pagi. Bersih dan air sangat cukup. Apalagi di Delfika guest house ini dikenal dengan masakan lautnya yang paling enak.
Tak ingin berlama-lama menghabiskan waktu di dalam kamar, kami langsung berdiskusi di depan selembar peta wisata Banda Neira pemberian pak Bahri pemilik Guest House, keliling kota Neira, ke pulau Banda (lonthoir) dan snorklingan di pulau Syahrir, itulah jadwal tiga hari kami di Banda Neira.
Hari pertama
Tidak ada yang jauh di pulau ini, setengah hari saja sudah hampir seluruh pulau Neira di lewati. Namun mengingat masih banyak tempat yang ingin kami kunjungi, saya memutuskan menyewa sepeda motor saja agar lebih mudah buat Kami berpindah dari satu tempat ke tempat lain, untuk 5 jam pemakaian sepeda motor di sewa dengan harga Rp 60.000 atau sewa ojek Rp 45.000.
Rumah Budaya
Sebelum memulai berkeliling menjelajah pulau ini, ada baiknya mengunjungi dulu rumah budaya ini, karena di dalamnya begitu banyak benda sejarah dan kisah-kisah Banda Neira zaman dahulu. Terletak tepat di depan Delfika Guest House.
Di bagian Sayap kiri ada seperangkat meja tamu dilengkapi gramophone yang masih aktif, pemandu sempat pula memutar piringan hitam yang terlihat masih terawat baik, alunan music classic zaman belanda mengalun samar mengiringi penjelajahan kami diruang demi ruang.
Masker menyelam, alat memasak, meriam, lonceng gereja, lonceng benteng, senapan, jam tua, topi perang, semua tertata rapi, namun satu hal yang paling menarik adalah sebuah lukisan tergantung di ruang tengah, menggambarkan peristiwa yang terjadi di tahun 1621 di dalam benteng Nassau, saat itu terjadi pembunuhan 44 orang kaya banda yang dilakukan atas perintah Gubernur Jenderal Belanda Jan Pieterzoon Coen, di depan anak istri beserta keluarganya secara sadis oleh 6 orang algojo samurai yang didatangkan langsung dari jepang (samurainya masih bisa kita lihat di rumah budaya).
Setelah mati, mayat 44 orang kaya ini di ceburkan ke dalam sumur tua tidak jauh dari benteng Nassau, saat ini sumur tersebut juga masih terawatt baik dan dikenal sebagai Perigi Rante (Sumur Berantai) dan dibuat monumen dekat sumur ini yang berisi nama-nama 44 orang yang dibunuh.
Agar mampu memonopoli perniagaan rempah-rempah diseluruh kepulauan banda, dan menakut-nakuti rakyat Banda agar tunduk kepada pemerintahan Belanda menjadi motivasi pembunuhan besar-besaran ini.
Benteng Belgica
Sebenarnya alasan inilah yang paling menguatkan niat saya mengunjungi Banda Neira, ketika melihat foto benteng Belgica di Internet yang begitu indah, saya begitu kagum dengan bentuk dan arsitektur benteng ini, “ahh akhirnya impian saya terkabul” sekarang benteng Belgica sudah di depan mata, dengan nafas sedikit terengah menaiki hampir seratus anak tangga menuju pintu benteng, bagai anak kecil yang tak sabar menuju arena bermain, itulah yang saya rasakan.
Pintu pagar masih terkunci rupanya, karena setiap tamu tidak bisa dengan bebas datang dan masuk ke Benteng ini, ada petugas yang berjaga namun tidak selalu ada di benteng, sehingga harus membuat janji terlebih dahulu. Di bantu oleh penduduk akhirnya 30 menit kemudian petugas berhasil dipanggil, gelisah menunggu di depan pagar, sambil sesekali memotret pemandangan alam dari ketinggian. Gunung api nan anggun tampak hijau merona, langit biru menawan. Saya betul-betul seperti menemukan tempat bermain baru yang seru
Benteng Belgica tercatat sebagai salah satu “World Heritage” oleh UNESCO dibangun tahun 1621 oleh Portugis sebagai pusat pertahanan, namun pada masa penjajahan Belanda, Benteng Belgica beralih fungsi untuk memantau lalu lintas kapal dagang yang kemudian berhasil di rampas oleh Belanda untuk menguasai perdagangan rempah-rempah dunia.
Terbayang betapa berharganya rempah-rempah di zaman itu. Berdasarkan penuturan tokoh masyarakat Banda Neira Bapak Alm. Des Alwi, harga satu kg biji pala, bisa membangun satu buah rumah di Eropa. Siapa yang tak tergiur dengan kekayaan ini hingga VOC terus berjuang mempertahankan Banda Neira.
Memiliki bentuk lima persegi, ada dua lantai yang bisa kita lihat secara menyeluruh. Bagian bawah beberapa ruangan tahanan wanita dan pria dengan alat pasung dan juga alat pemenggal kepala, tempat tiang bendera juga dua buah sumur yang konon sebagai terowongan menuju benteng Nassau dan satu lagi menuju pelabuhan.
Di lantai dua kita bisa saksikan 5 buah meriam berjajar, dengan logo VOC diatasnya serta ruangan terbuka dengan 5 buah menara, hati-hati memanjat menara benteng selain anak tangganya sangat tegak dan hanya satu badan lebarnya, serta bagian ujungnya yang sangat sempit.
Apabila anda tidak terjepit di satu menara maka cobalah menaiki empat menara lain lagi, karena tiap sudut benteng menawarkan keindahannya sendiri, pemandangan Gunung api, hilir mudik perahu motor di sepanjang teluk Banda, atau reruntuhan Benteng Nassau, sangat jelas terlihat.
Anda bisa sekaligus mengkhayal sebagai Gubernur Jenderal Belanda Jan Pieterszoon Coen, memlintir kumis berdiri gagah memandang lautan mengawasi kapal-kapal pengangkut rempah-rempah dengan keanggunan Gunung Api.
Rumah pengasingan Bung Hatta, Bung Syahrir, Penjara dan Istana mini
Meninggalkan Benteng Belgica, saya berjalan ke selatan menuju Rumah pengasingan Bung Hatta, dan juga rumah pengasingan Bung Syahrir oleh karena kekuatiran Belanda terhadap kegigihan politik mereka berdua, sehingga diasingkan oleh pihak Belanda ke Banda Neira dimulai sejak 1935 hingga 1942.
Selama 8 tahun dua tokoh politik Nasional ini gigih mengajarkan pengetahuan politik, bahasa kepada masyarakat setempat, sehingga di rumah ini masih bisa kita saksikan susunan kursi dan meja laiknya sebuah sekolah.
Bisa disaksikan juga bersebelahan dengan rumah pengasingan Bung Hatta, sebuah penjara bergaya bangunan kolonial Belanda, dan saat berkunjung kesini sempat bertemu dengan kepala penjara dan berbincang sejenak, bahwa kejahatan di Banda Neira sangat minim, saat ini penjara hanya dihuni satu orang tahanan dan itupun kiriman dari Kota Ambon.
Perjalanan dilanjutkan ke Istana Mini disebut demikian karena istana ini dibangun satu tahun lebih cepat dengan istana merdeka yang ada di Jakarta, dilihat dari bentuk pilarnya memang sangat mirip, kemungkinan desain istana ini dijadikan contoh untuk pembangunan istana merdeka di Jakarta.
Bangunan ini konon digunakan sebagai pusat kantor perdagangan rempah-rempah dan sekaligus kediaman Gubernur Jenderal Belanda termasuk diantaranya Jan Pieterszoon Coen. Bangunan dengan halaman yang luas, tiang bendera di depannya dan meriam di kanan kirinya.
Apabila melihat sisi dalamnya, langit-langit, jendela dan lantai masih terawat dengan baik, walau terlihat kosong tak satupun benda ada di dalamnya. Sedangkan pemandangan di depannya adalah selat Zonnegat yang membelah Pulau Banda Besar dan Pulau Naira.
Berjalan ke arah samping dari istana mini, kita masih bisa menemukan patung Willem III di halaman, beliau adalah Raja belanda tahun pemerintahan 1849-1890.
Gereja Tua, Mesjid Tua dan Klenteng Sun Tien Kong
Beruntungnya saya saat melintas depan gereja di hari minggu, saat itu ramai para jemaat menghadiri misa, sehingga sayapun bisa melihat bagian dalam gereja tua ini, beserta aktivitasnya, sungguh indah dan unik, karena di lantainya banyak tulisan-tulisan berbahasa Belanda, setelah meminta izin saya diperbolehkan naik ke balkon dibagian belakang untuk mengambil suasana di dalamnya.
Malam harinya saya rasakan juga sholat magrib di masjid tua Masjid Al-Mukhlisin yang dikenal juga sebagai masjid Hatta-Syahrir. Sambil membeli oleh-oleh khas pulau Banda, selai pala, halua kenari dan buah kenari saya bertemu dengan Klenteng Sun Tien Kong yang juga masih tampak terawat baik. Kehadiran Rumah ibadah ini menandakan beraneka ragam etnis dan agama ada disini.
Hari kedua Menuju Lonthoir
Lonthoir atau Lontor adalah nama desa di Pulau Banda besar, yang letaknya diseberang dari pulau Neira. Perahu merapat di dermaga, dan baru 100 m berjalan kita sudah diajak menapaki anak tangga, sesaat saya terbayang anak tangga di makam Imogiri ataupun anak tangga menuju kawah Bromo, banyak dan cukup tinggi, pelan namun pasti sambil menghitung anak tangga, entah berapa hitungan pasti namun sudah lebih dari 300 buah anak tangga terhitung hingga akhirnya tiba dibenteng Hollandia yang dibangun pada tahun 1642.
Benteng yang menghadap ke pulau Neira. Awalnya benteng ini bernama Fort Lonthoir. Kemudian diubah oleh Pieter Vlak menjadi Fort Hollandia. Benteng itu dibangun untuk mengendalikan lalu lintas laut yang melintas selat antara Neira dan Lonthoir, terutama untuk memonitor aktivitas perdagangan pala dan fuli di desa/kampung sepanjang pantai pulau Lonthoir.
Namun benteng Hollandia ini tampak kurang terawat, dua sisi dinding sudah tampak tak utuh, dan pintu utama juga tampak tidak kokoh lagi banyak batu terbuka sehingga terlihat beresiko untuk rubuh. Tanaman liar merambat dimana-mana sehingga hampir menutupi pintu utama. Hujan deras mendadak turun, sehingga 15 menit berteduh di gerbang benteng ini.
Cuaca berganti cerah kembali, dari depan pintu kita dapat menyaksikan pemandangan perkampungan Lonthoir yang indah, gunung api dan selat Zonnegat, di kejauhan masih tampak benteng Belgica yang terletak di ketinggian di bukit Tabaleku di pulau Neira.
Perjalanan dilanjutkan menuju kebun pala dan kenari, buah pala bergelantungan di setiap pohonnya, siap untuk di petik, hampir semua bagian buahnya menjadi nilai ekonomi, daging buah pala dapat diolah menjadi manisan atau direbus dengan gula menjadi sirup pala, bunganya (fuli) digunakan sebagai bumbu masakan atau diekstrak sarinya menjadi bahan baku kosmetika dan parfum, dan bagian biji yang dimanfaatkan menjadi beragam bumbu dapur.
Adakalanya buah pala yang berdaging putih ini di makan langsung seperti rujak, bagi yang tahan dengan rasa asam, buah pala ini menjadi kudapan yang nikmat, silakan dicoba.
Usai berkeliling di kebun pala saya bertemu dengan dua orang anak Lonthoir, sambil menjaga ternak mereka mengutip buah kenari yang juga banyak berjatuhan di kebun. Kenari di jemur dan diambil bijinya, Kenari menjadi sumber daya alam paling terkenal disini bisa diolah menjadi makanan ataupun minyak atsiri.
Rasa haus menyergap, namun bekal air sudah habis, “kita minum air perigi saja” kata Pak Ali pemilik perahu motor yang kami sewa dari Neira. Sebuah sumur tua dengan kedalaman sekitar 7m, ada dua sumber mata air disini, satu sumur wanita dan satu sumur pria, dan tidak boleh seorang pria mengambil sumur di bagian wanita, begitulah aturan yang berlaku.
Sumur ini dianggap sebagai sumur (Perigi) Keramat. Sumber air minum warga Lonthoir adalah dari sumur ini, tanpa harus dimasak dahulu, air sudah siap diminum, dan tak ragu lagi, sayapun turut meminum air perigi ini, dan membawanya dalam botol air. Setiap 10 tahun sekali diadakan upacara adat untuk mencuci perigi ini. Terakhir perigi dicuci pada tahun 1989.
Hari menjelang malam, perjalanan di hari kedua ini kami akhiri dengan makan malam sambil minum kopi di café, tidak ada yang istimewa dari kopi Banda ini, karena kopinya juga di datangkan dari jawa, namun jangan sampai ketinggalan merasakan pancake dengan selai pala atau cinnamon (kayu manis) lezat luar biasa, “ini baru Banda”, aroma rempah dan kudapan rasa rempah. Selamat malam banda, mimpi indah saya hari ini pasti Sepia, jadoel ke zaman dahulu kala
Bawah laut nan Indah di Aliran lava
Ada 5 pulau utama di Banda Neira, selain pulau Neira ada juga Pulau Banda Besar,Pulau Ai, Pulau Run, Pulau Hatta dan Pulau Sjahrir.
Terasa tak lengkap apabila hanya merasakan keindahan di daratan, hari terkahir ini Kami akan melihat keindahan bawah laut juga, bersiap menuju pulau Syahrir dan keindahan bawah laut sekitar Gunung Api.
Pulau Syahrir, pulau ini dikenal juga dengan pulau Pisang, dari pelabuhan Neira menuju pulau Syahrir hanya ditempuh selama 45 menit dengan perahu motor. Diberi nama pulau Syahrir karena saat pengasingan Bung Syahrir tahun 1935 beliau sempat juga tinggal di pulau ini.
Suasana di pulau ini hampir sama dengan pulau lainnya di Banda Neira, pulau syahrir inipun dipenuhi dengan pohon pala, kemiri dan kenari. Kerap kali kita menemukan hamparan fuli (bunga pala yang berwarna merah) dan biji pala terhampar di depan rumah. Apabila cuaca panas, bunga pala ini bisa kering 4-5 hari dan dijual Rp 135.000 perkilonya
Kepulauan Banda sebagai salah satu titik dive terbaik di dunia, Tahun 1980an Lady Diana dan Pangeran Charles pun sempat menikmati keindahannya. Jangan kuatir, persewaan alat-alat menyelam juga tersedia disini, Dive centre yang berada di Hotel Maulana memanjakan para diver, namun dengan menggunakan snorkel saja sebenarnya kita sudah dapat menikmati keindahannya karena airnya sangat bening, hampir 30 meter ke bawah masih bisa kita lihat dengan jelas, terutama di daerah aliran lava Gunung Api, ini adalah spot terbaik untuk menikmati alam bawah laut.
Gunung api yang meletus tahun 1988 menghasilkan lava dan alirannya mengalir menuju permukaan dan dasar laut. Perkembangan terumbu karangnya disini terhitung sangat pesat kurang dari 10 tahun sudah berkembang biak kembali dengan baik, sehingga mata sayapun begitu dimanjakan dengan terumbu karang aneka warna dan bentuk, dan tak kalah menarik ribuan ikan aneka warna berenang melintas di sela-sela kita. Sungguh pengalaman yang luar biasa. Banda Neira indah diatas dan di bawah laut.
Jadwal Penerbangan ke Ambon pukul 07.00, dengan berat harus mengakhiri perjalanan di Banda Neira. Berharap besar cuaca tak mengalami gangguan, agar penerbangan Kami berjalan sesuai rencana.
Bertemu kembali dengan pak Turnip sang pramugara, “selamat pagi Bapak”, dengan sapaan ramah seperti sudah kenal bertahun-tahun,pesawat mulai take off, dan obrolan ringan mengalir, sambil melihat pulau Neira dari atas pesawat perintis ini, “saya mintakan izin ke pilot apakah diizinkan memotret dari ruang cockpit, dan tak berapa lama, sang pramugara melambaikan tangannya dan mempersilakan saya menyaksikan pemandangan Ambon dari ketinggian. Indah sekali, walau tetap dengan rasa was-was.
Selamat datang kembali di Ambon, Banda Neira dan Perjalanan yang penuh makna, sejarah, semangat perjuangan, kecintaan pada negeri, makna yang saya dapatkan. Terimakasih sudah menjaga asset budaya dan sejarah ini, sehingga saya dan mungkin anak cucu ke depan masih bisa menyaksikan saksi bisu perjuangan bangsa
Catatan:
- Jadwal penerbangan yang sudah di pesan untuk hari Jumat, terpaksa mengalami pengunduran karena alasan cuaca memburuk dari pihak maskapai. Sehingga jadwal berangkat Jumat kembali hari Senin, terpaksa berubah menjadi Sabtu hingga Senin.
Sebaiknya sediakan waktu lebih luang untuk kemungkinan adanya pengunduran jadwal penerbangan kembali. Karena apabila Senin adalah penerbangan terakhir dari Banda Neira menuju Ambon, oleh karena cuaca buruk maka penerbangan yang hanya satu kali sehari ini tidak terbang. Dan harus menunggu hingga hari Jumat ke depan, namun apabila jadwal kepulangan anda sesuai dengan berlayarnya Kapal Pelni (dua minggu sekali) itu berarti anda sedang beruntung - Setiap hari Senin, pesawat dari Banda Neira akan singgah di Amahai (pulau Seram) sehingga yang berminat langsung ke pulau Seram bisa memilih kepulangan di hari Senin, namun jadwal inipun bisa tidak pasti, seperti yang saya alami, jadwal ke Amahai dari Banda Neira seketika batal dan langsung menuju Kota Ambon.
- Sewa perahu motor untuk satu hari berkeliling pulau berkisar Rp 300.000-400.000 melalui pemilik penginapan, namun apabila mau bernegosiasi langsung dengan pemilik perahu mungkin bisa lebih murah.
- Wisata sejarah di Banda Neira dikenakan Rp 20.000 per orang, untuk sekali makan rata-rata Rp 25.000 per menu, kopi ataupun minuman hangat rata-rata 8000 per gelas.
youtube kenari
Great job really! Banda Neira, Negeri Kaya Sejarah Beraroma Rempah | Photography … or in web is a very good place!