Skip to content
Home » Denyut adat, keindahan, kehangatan humanis yang terpadu

Denyut adat, keindahan, kehangatan humanis yang terpadu

danau tamblingan sesaat mentari menampakkan wajahnya
Danau Tamblingan sesaat mentari menampakkan wajahnya

Bali selalu saja mengelitik kaki untuk terus menjelajahinya, seakan tiap kilometer alam di bali menjanjikan eksotisme budaya, adat dan alam. Sebuah kesatuan yang tak lekang di terpa zaman.

Tamblingan dengan nuansa syahdu di pagi hari, geliat kabut yang berkejaran dengan meningginya matahari, yukk menyaksikan langsung pandangan surgawi. Mata seketika tergegap, tak ingin tiba lebih cepat dari lirikan matahari.

Kami sudah bergegas melaju dari Denpasar dengan kendaraan roda empat pukul 4 pagi. Tanpa kendala karena semua masih sepi dan lancar. Hanya 40 menit Kami sudah tiba di gerbang masuk danau Tamblingan. Selain indah danau ini memiliki nilai historis dan spiritual yang kental.

Dan nyatanya di antara Danau Buyan dan Danau Beratan, Danau Tamblingan di Kecamatan Banjar ini adalah danau terkecil yang ada di bali, berada di ketinggian 1.200 mdpl.

Angin dingin menerpa seketika membuat saya kembali ke dalam mobil, udara di luar lebih dingin dari pendingin udara. Brrrr jaket dan kain sarung saya lilitkan kembali ke badan.

Namun kami harus bergegas tiba di bibir danau, karena matahari tak enggan menunda kehadirannya. Sebagai bentuk penghormatan pada adat dan agama, Kami melilitkan kain sarung bali dan penutup kepala yang biasa di sebut udeng bagi laki-laki.

Melangkahkan kaki di jalan setapak dengan jalan setengah beraspal, sesekali lolongan anjing meraung raung dalam gelap dan dingin, untungnya perbincangan ringan membunuh sepi dan hening, hingga tak berasa sudah 15 menit tiba di danau, anggap saja olahraga pagi penghangat badan. Semburat terang mulai tampak di ufuk.

Yaaa akhirnya… kami sudah tiba sebelum dia bangun. Tak ingin melewatkan sedetikpun keindahannya, waktu demi waktu perubahan terang kami nikmati. Samar terlihat kabut tipis di atas danau dan akhirnya sang mentari muncul dari balik bukit di depan mata, awan dank abut bergeser kencang oleh derasnya angin.

Pura yang tadi terlihat bagai bayang hitam mulai tampak wujud dan bentuknya, Pura Dalem Tamblingan tepat berada di tepi danau, berdiri anggun dengan air menggenang, menyumbul sedikit rerumputan diantaranya.

Danau ini mengalami pasang surut bergantung kondisi cuaca, apabila musi penghujan air melimpah, bisa membanjiri hingga kompleks rumah penduduk di tepian danau, namun apabila air sedang kering, kita bisa berjalan kaki menuju pura. Selain Pura Dalem Tamblingan, ada pula beberapa pura lain yang berukuran lebih kecil di sekitarnya

Tampak perahu-perahu bercadik bertengger di bibir pantai, seorang nenek mengayuh pelan menjauh dari pura. Pelan dan pasti akhirnya perahu itupun tiba di tepian daratan, menyapa pelan pada si nenek, ” ayo mari ke rumah nenek”, tanpa ragu sayapun ikut jalan beriring bersama nenek, niat saya berkeliling danau saya urungkan sejenak, di sepanjang sisi kanan danau rapat berjajar rumah penduduk dengan kehidupan khas tradisi bali kita bisa menyaksikan para wanita melakukan sembahyang.

Ada pula sang bapak sedang memberi makan ayam-ayamnya. Sambil berjalan pelan nenek bertanya saya tinggal dimana dan bersama siapa datang kesini, akhirnya Kamipun tiba di depan sebuah rumah sederhana, tepat menghadap danau, duduk di berandanya sambil memandang danau sangatlah indah. …

“Nenek … panggil saya, namun nenek sudah hilang di balik kain merah sedikit lusuh sebagai pemisah ruangan, dan tak berapa lama nenek kembali dengan dua buah gelas kaca, tampaknya teh hangat, terlihat dari kepulan asap dari atas bibir gelas, ..”hati saya membuncah tiba-tiba”…. “Terimakasih nek, jangan merepotkan” tidak apa-apa cu … dingin-dingin pasti enak minum air hangat dan maaf belum ada makanannya, nenek belum masak” ahhh sesaat tercabik mengenang nenekku yang telah tiada, tentu iapun akan ramah dan baik hati seperti nenek di hadapanku. Obrolan hangat mengalir, terkadang si nenek tertawa hingga jejeran gigi ompongnya terlihat, senangnya ….

Tiba-tiba terasa telpon di genggaman berdering memotong suasana hangat ini, teman-teman rupanya tak sabar menunggu saya untuk kembali ke mobil dan akan berpindah ke danau Beratan di sebelah danau tamblingan ini. Pertemuan yang singkat namun penuh arti, saya pun pamit pada si nenek, sambil mengucapkan “Suksma nenek” (terimakasih nenek) semoga lain waktu kita bisa bertemu lagi.

Sungguh pagi ini bukan saja pemandangan indah yang saya dapatkan namun juga keakraban nenek dan cucu. Danau Tamblingan, denyut adat, keindahan, kehangatan humanis yang terpadu. Sebagai wujud Mahakarya sang Pencipta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *